*

*

Ads

Kamis, 21 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 048

Pada suatu pagi nan indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu.

Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik.

Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tidak takut akan ancaman burung-burung. Agaknya di saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram dengan pembunuhan kepada sesama mahluk, sungguhpun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar!

Ataukah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah kenyang maka mereka tidak mengganggu kelenci dan kupu-kupu? Mungkin sekali, karena, hanya manusia-manusia saja yang masih temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain mahluk tidak ada yang sekejam manusia.

Tiba-tiba terdengar suara manusia tertawa yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup-sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.

Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali mengapa mula-mula terdengar suara nyaring baru kemudian terdengar derap kaki kuda bagaimana suara ketawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh?

Akan tetapi kalau pendengar tadi seorang ahli silat tinggi, ia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan penggunaan ilmu yang disebut Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).

Kemudian terdengar suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja,
“Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini, alangkah indahnya…!”

Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing, berwajah cantik, sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Ia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanan memegang sebatang cambuk pendek.

Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah sudah masak dan sedap dipandang.

Gadis baju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembang-kembang berwarna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk di tangannya digerakkan, cambuk itu meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.

Lihai sekali ia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu kepadanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,

“Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”

Kembali cambuk pendeknya bergerak dan setangkai bunga kuning di lain saat telah berada di tangan kirinya. Ia memandang dan mencium dua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.

“Tar…!”

Sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.

“Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih.






Kalau orang gagah kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini ia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau ia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda. Cantik jelita sukar menemukan cacat-celanya.

Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biarpun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang. Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi begitu bening dan jelas terisi api kehidupan yang tak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat.

Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis sekali, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, sungguhpun pada bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.

Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, namun sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya amat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.

“Sumoi, mengapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.

“Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”

Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata,

“Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap genit.

Dara baju merah itu pun tertawa dan menjawab,
“Giok-gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!”

Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu melemparkan bunga putih ke arah sumoinya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main… bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapnya tangan-tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.

“Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”

“Aku lebih suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.

Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.

Adapun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini memiliki sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu.

Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biarpun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui semua orang, namun para pemuda di kota Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria.

Dan kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka, semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi daripada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!

Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apabila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlumba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.

Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apalagi karena dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!

Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.

Telah dituturkan di bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan muridnya hanya apabila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri, pelayan banyak, uang ada, segala lengkap.

Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapapun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.

Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian!

Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok maupun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.

Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutah yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.

Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.

“Ayah telah berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, “indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai disini.”

“Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah di seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

“Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”

“Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.

“Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku berduka selalu. Dialah musuh besarku yang harus kubunuh!” kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.

“Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biarpun kepandaianku tidak ada artinya.”

Im Giok menarik napas panjang.
“Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih…”

Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak, juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.






Tidak ada komentar :