*

*

Ads

Sabtu, 23 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 053

Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita menengok keadaan Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara keren,

“Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepat kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke mana-mana!”

Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biarpun ia hanya murid Kiang Liat, namun biasanya ia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi ia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja dia tidak sempat karena tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ! Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,

“Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”

Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman ketika kakek itu memandangnya. Sinar mata itu demikian berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat ia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli silat biasa. Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguhpun harus ia akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan ia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu sumoinya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok.

Kali ini Kim Lian benar-benar terheran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couwnya. Biarpun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su telah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah menegurnya,

“Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po yang kau lakukan tadi, jauh dari sempurna!”

Kim Lian kaget. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya? Memang benar tadi ia mempergunakan ilmu lari Yan-cu-huipo ajaran suhunya. Melihat suhunya juga bersikap amat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”

Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,

“Ketahuilah, gurumu ini menerima Yan-cu-hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang tinggi sekali tingkatnya di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah menjadi cucu muridku, karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid keponakanku. Jadi selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang ditambah pula warisan dari aku dan suteku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat.”

“Teecu akan memperhatikan segala petunjuk Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara perlahan.

“Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”

Kim Lian mengundurkan diri. Hatinya ingin sekall mengetahui apakah gerangan yang hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couwnya tentu akan mengetahui kalau diintai orang. Maka Kim Lian tidak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.

“Dia untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu menyenangkan sekali…”






Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya ia tertidur!

“Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga muridmu ini bakatnya bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”

Sebetulnya, Kiang Liat tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan isterinya yang sampai sekarang seringkali terbayang dan seperti hidup di depan matanya.

Sudah sejak lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tidak mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,

“Baikiah Supek. Akan teecu perhatikan.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini memiliki penglihatan dan pendengaran yang luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.

“Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tidak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tak dapat kau temukan di dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri.”

Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar jangan sampai matanya yang mulai panas itu mengeluarkan air.

“Teecu telah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biarpun Kiang Liat sudah tahu bahwa supeknya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?

“Ha, ha, ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apalagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, mengapa memilih cara rendah? Mati ngenes adalah mati yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”

“Teecu tidak ada semangat, tidak ada nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im Giok dan Kim Lian.”

“Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?”

Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di hati Kiang Liat yang sudah hampir kering.

“Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”

“Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik.”

Bu Pun Su lalu menceritakan tentang keadaan negara. Betapa banyak gubernur membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing yakni suku bangsa-suku bangsa yang dahulu membanntu pemerintah mengusir pemberontakan An Lu Shan sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.

Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling bermusuhan karena ada yang pro ada yang kontra pemerintah. Demikian pula orang-orang gagah di dunia kang-ouw menjadi goncang kedudukannya. Mereka terpecah belah dan terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau pemimpin-pemimpin pemberontak di daerah masing-masing.

Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang semenjak dahulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan pembesar-pembesar setia kepada negara. Biarpun Bu Pun Su hanyalah putera angkat dari Menteri Lu Pin (baca Pendekar Sakti), namun kiranya semangat dan jiwa kepahlawanan mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut.

“Demikianlah, Kiang Liat,” katanya sambil menghela napas. “Negara kalut, perang saudara mengancam, perpecahan antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tidak terjamin, orang-orang jahat muncul merajalela mengacau kehidupan rakyat kecil. Kalau timbul perang, rakyat pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apalagi kalau dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Hendak kuajak mereka ini membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau dan gurumu Han Le yang kiranya akan dapat membantuku.”

“Bagaimana teecu dapat membantu Supek?” tanya Kiang Liat.

“Ancaman yang paling hebat bagi negara adalah bahaya yang datang dari utara dan barat. Oleh karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Thian-san di barat, juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi kepada Thian It Cinjin di Thian-san dan aku pergi ke Kun-lun-pai menemui Keng Thian Siansu.”

Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera berangkat.

“Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat.”

Maka berangkatlah Kiang Liat, menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Adapun Bu Pun Su setelah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-le-tho mencari Han Le.

**** 053 ****





Tidak ada komentar :