*

*

Ads

Senin, 25 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 057

“Ha, ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Dia ini? Hm, biarpun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha, ha, ha!”

“Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, mengapa kau menghina keponakannya?”

“Kau keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.

“Aku yang bodoh, memang keponakan luar dari Suma-huciang,” jawab Gan Tiauw Ki dingin.

Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya, kemudian ia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata,

“Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.”

Setelah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju.

“Manusia sombong…!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.

“Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera Gubernur Lie di Shansi,” jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.

“Gan-kongcu…”

“Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanya seorang pemuda miskin biasa saja aku malu menerima sebutan ini.”

Im Giok tersenyum manis.
“Habis, aku harus menyebut bagaimana?” tanyanya.

“Biarpun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,” kata Tiauw Ki.

“Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.

Tiauw Ki tersenyum.
“Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah mengenalmu lama sekali.”

“Aku pun demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang cocok.”

“Kita seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.

“Memang kau baik sekali.”

“Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku menyebutmu adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”

Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.

“Baiklah, Gan… Twako. Eh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”

“Memang aku membohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera gubernur, tetap saja saja ia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, melihat dia hendak kurang ajar kepadamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi.”






Im Giok tersenyum
“Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?”

“Tidak apa, selain aku tidak takut, juga aku tidak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang orang yang tak bernama?”

“Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungi aku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu, kalau tadi aku mau, hemm… aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!” kata Im Giok gagah.

“Nona…”

“Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako…”

“O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi…”

“Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twa-ko…”

“Eh ya… Kiang-moi, sebetulnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tak takut kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.”

Im Giok mengangguk-angguk.
“Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, kalau aku tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.

Mata Im Giok yang tajam dapat melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena dia sendiri belum terkenal, ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.

“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.

“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat dan menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”

Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki.
“Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang di kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Adapun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini.” Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah.

Melihat ini Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.

“Eh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.

Muka Tiauw Ki makin merah.
“Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”

Im Giok tertawa.
“Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”

“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”

“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda tentu!”

“Ah, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan… dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.

“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”

“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”

“Ah, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”

“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi… jadi… begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”

Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.
“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Dan aku tidak mau kalau kau memberikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini daripada aku harus menyusahkanmu, membeli di toko.”

“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau… kalau… aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”

Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.
“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”

“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.

“Mengapa? Aah… kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”

“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.

“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”

Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.

Diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.

Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, karena Suma-huciang memang sejak beberapa keturunan telah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya Suma-huciang disegani oleh pembesar-pembesar lain, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dahulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.

Ketika mereka tiba disitu, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai, dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring. Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan minuman.

Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka merah seperti muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung di pinggang, duduk di ruang sebelah dalam dimana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.

Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang, tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah, tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruang dalam. Tamu ini menghaturkan selamat dan memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum kemana ia harus membawa tamunya duduk.

Barang-barang sumbangan ditaruh di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan.






Tidak ada komentar :