*

*

Ads

Senin, 25 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 058

Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu pria. Tamu wanita seperti ini tentu orang-orang kang-ouw dan ahli silat-ahli silat, mudah dilihat dari gerak-gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka.

Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguhpun hubungan ini amat terbatas oleh tata-susila yang tetap dipegang teguh.

Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan ramah-tamahnya.

“Selamat datang, Tuan muda dan Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberitahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”

“Terima kasih, Lopek. Tolong beritahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung, bersama seorang sahabat, Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.

Ketika pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.

“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”

Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Setiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apabila mereka lewat dekat, kemudian terdengar bisikan-bisikan dan suara ketawa ketika mereka telah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian. Baik Tiauw Ki maupun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik!

Akan tetapi gadis itu tidak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruangan dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini. Ruangan ini paling lebar dan luas, di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel di dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah.

Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan.

“Aha, kiranya Gan-hiantit yang datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”

Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah benar-benar Tiauw Ki keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali?

“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Adapun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”

Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari sakunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang.

Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.
“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”

Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri disitu dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.

Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu! Akan tetapi ia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat ia menjura kepada pembesar itu dan berkata,

“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga,”






Ia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.

“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”

Tiauw Ki dan Im Giok menjura, kemudian mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,

“Aku ingin duduk di ruangan ini, dekat pamanku.”

Pelayan itu tidak berani membantah karena pemuda ini betapapun juga adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan “orang-orang besar” disitu. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang ia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.

“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.

Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Hal ini mudah saja baginya karena memang ia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.

Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak, sehingga memenuhi meja. Akhimya habis juga aliran tamu dan tempat-tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.

Kemudian seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!

Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua yang hadir, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!

Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata,

“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang karunia yang amat mengharukan hatiku dan yang selama hidup takkan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”

Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai menggetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
“Ada kabar baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di depan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”

Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada disitu. Para tamu wanita kini semua memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.

“Sebetulnya siauwte malu sekali memperlihatkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis dan tiba-tiba sekali ia bergerak tubuhnya melayang naik ke atas panggung!

Jarak antara tempat ia berdiri dan panggung ada enam puluh tombak dan ia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, benar-benar merupakan demonstrasi gin-kang yang tak boleh dipandang ringan!

Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.

“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian ia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.

Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.
“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.

Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja tercium bau harum dan suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.

Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik,
“Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang,” dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung.

Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga tamu-tamu pria banyak yang meninggalkan tempat duduknya untuk diberikan kepada tamu-tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk disitu bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh karena itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.

Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar telah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung dimana orang menyediakan tempat khusus untuk tuan rumah.

Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir disitu, para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai sekali.

Im Giok diam-diam memperhatikan Tiauw Ki dan ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan bercakap-cakap asik sekali dengan Suma-huciang yang nampak mengangguk-angguk.

Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga bicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apalagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.

Tak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengaku bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.

Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar jaman dahulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi, Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang seringkali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.

Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul, semua orang kini diam dan memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin.

Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok. Gadis ini membuang muka, akan tetapi ia melihat semua wanita muda yang berada di situ tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali.

Im Giok menjadi sebal. Ia tahu, bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.

Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Gerakannya mula-mula lambat dan pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga tiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang-kadang tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang dan bergerak amat gagahnya.

Im Giok secara terus terang harus mengaku bahwa ia amat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang mengandung dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.

Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah ia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.






Tidak ada komentar :