*

*

Ads

Senin, 25 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 059

Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tak terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi ia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan ia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isarat-isarat kurang ajar dari pemuda itu.

Lie Kian Tek bersilat makin cepat dan tak lama kemudian di atas panggung seperti ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.

Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba ia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu telah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat.

Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya. Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biarpun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.

Tiba-tiba Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-liong-hian-bow (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah amat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir ialah dengan menimpukkan pedangnya.

Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!

Tadinya semua orang terkejut karena mengira bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula!

Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu, menjadi pucat dan ia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal tadi mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.

“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.”

Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan.

“Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Kalau dipergunakan dalam perang, kiranya takkan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”

Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tangan dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Kemudian sambil tertawa ia memuji,

“Pedang bagus! Pedang bagus!”

Dan sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya.

Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lwee-kang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran.

Im Giok tertegun. Tenaga lwee-kang seperti itu tak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi “sahabat” Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek.

Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai muram. Ia menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu,

“Ah, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira dan hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharap supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk memperlihatkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”






Kata-kata ini sesungguhnya bukan semata untuk menyatakan ketidak-senangan hati putera Gubernur ini karena tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, melainkan pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.

Suma-huciang adalah seorang pembesar yang amat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan merupakan penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendirinya lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.

Adapun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan apabila di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguhpun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan kebencian dan permusuhan.

Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai dimana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.

Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,

“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.” Ia lalu memberi isarat kepada seorang tamu yang berdiri dan menjura kepada Suma-huciang.

Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam. Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang amat terkenal dan juga amat setia kepada Kaisar maka selalu membela Suma-huciang.

Setelah memberi hormat kepada Suma-huciang, ia lalu berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,

“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba takkan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”

Lie Kian Tek tersenyum mengejek,
“Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”

Setelah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga kini ia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung.

Para wanita melirik-lirik dan senyum-simpul menghujani pemuda itu, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya! Kian Tek melempar senyum membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.

Sementara itu, musik telah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan.

Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang tak boleh dipandang ringan. Setiap gerak tangan mengandung tenaga lwee-kang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main.

Setelah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu lalu mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam. Ia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.

Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata,
“Aku orang she Chi telah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.”

Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula. Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni seorang diantara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berrseru keras,

“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”

Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya telah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan gin-kang yang lihai.

Suma-huciang tertawa.
“Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,” jawabnya.

Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata suaranya lantang tinggi.

“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shan-si. Akan tetapi, siauwte bukan seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti sebaliknya banyak orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah kalau diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, benar-benar siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tidak mau seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”

“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur.

Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.

“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau… takut?”

Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekatli, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu ia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.

Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kiain Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar, yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci.

Suma-huciang sejak tadi sebelum keadaan meruncing, sudah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara nasihat-nasihat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan hasrat kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai dimana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.

Kini ia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang ia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya. Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji dan melihat “isi hati” musuh-musuhnya, tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan terjadi karena perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.

Piauwsu itu setelah melihat isarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat ia telah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng! Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur “isi” lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.






Tidak ada komentar :