*

*

Ads

Senin, 25 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 056

Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang letaknya hanya tinggal beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda.

Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong. Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tidak mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda.

Mereka ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok. Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan penyelidikan.

Adapun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini. Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling peraknya dan mainkan beberapa lagu.

Im Giok tertarik sekali. Lebih suka hatinya terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biarpun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat orang yang bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun.

Sebaliknya, baru kali ini selama hidupnya Tiauw Ki bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman di kota-kota besar, sudah banyak melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini.

Oleh karena kedua pihak saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, namun jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apabila mereka berpisah.

Makin dekat dengan kota Tiang-hai, makin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai.

“Heran, mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?” kata Tiauw Ki perlahan ketika melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka.

Rombongan ini terdiri dari tujuh orang dan melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.

“Mereka siapakah?” tanya Im Giok.

Gadis ini lebih heran lagi karena ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki dapat mengenal mereka?

“Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?” kata Tiauw Ki. Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.

“Ada apakah, Nona?” tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kecurigaan.

“Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Im Giok.

Tiauw Ki tersenyum merendah.
“Apa sukarnya? Badan penyelidik dari istana telah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang memberontak. Gubernur Shansi dan Honan memelopori pemberontakan-pemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari dua gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku mengenal mereka tanpa mereka tahu siapa aku.”






Im Giok mengangguk-angguk kagum.
“Gan-kongcu, otakmu benar-benar tajam sekali, dapat mengingat semua orang dalam gambar.”

“Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Dengan beberapa coretan saja, ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu.”

Im Giok lalu bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik dan kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini kembali memiliki kepandaian lain yang menarik, yakni melukis.

Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai namun ia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri. Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang,

“Minggir! Minggir!”

Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata,

“Datang orang kasar, baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut.”

Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya kalau mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.

Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah dan gagah, akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa ia seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa.

Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu.

Mendadak kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras dan mereka menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat di tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi oleh pemuda tampan itu!

Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini telah dilemparkan oleh kudanya, ketika kuda itu berdiri diatas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tak dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang. Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat dan menyambar.

Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya dan pemuda ini di lain saat sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.

“Bagus sekali!” terdengar suara orang memuji.

Pada saat itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping.

Akan tetapi tak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras, kedua kaki depan diangkat dan kaki belakangnya merendah hampir berlutut!

Im Giok kagum. Penunggang itu telah memperlihatkan kepandalannya, tidak saja kepandaian menunggang kuda, juga kepandaian ilmu lwee-kang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya dan mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri.

Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,
“Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”

Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.

Kalau tadinya Im Giok tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek dan pandang mata yang membayangkan kesombongan besar, penuh penghinaan kepada Tiauw Ki sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.

Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki, lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.

Pemuda itu tak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.

“Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru kali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”

Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
“Apakah maksud kata-katamu ini?”

Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di situ pula.

“Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?”

Lima orang yang mengawal pemuda ini, kesemuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.

“Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm… banyak sekali orang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,” demikian kata seorang di antara mereka.

Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih,
“Ha, ha, ha, kau betul sekali, Ciang-lopek, akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa telah menyelamatkan nyawa seorang yang betul-betul tiada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu karena kau benar-benar cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?”

Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang. Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu,

“Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata-susila antara pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, mengapa diganggu?”

Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
“Hah! Siapa ajak bicara orang macam engkau?”

Im Giok sementara itu sudah dapat menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isarat Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,

“Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tidak ternama. Aku hendak pergi ke Tiang-hai…”

“Ke Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, “Kiang-siocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”

“Ulang tahunnya yang ke enam puluh?” Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.”






Tidak ada komentar :