*

*

Ads

Sabtu, 23 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 055

Pek Hoa gembira melihat hasil ilmunya dan ia memperindah gerakannya untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin.

Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mujijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi serangan-serangan lawan hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja. Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Disamping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh, Pek-in-hoat-sut.

Begitu Bu Pun Su mengerahkan sin-kang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap putih yang makin lama makin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mujijat dari ilmu pedang lawannya. Setelah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-in-hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mendesak lawan.

Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya memutar-mutar pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh,

“Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?”

Sebetulnya semenjak tadi Han Le sudah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit tidak keruan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap suhengnya. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi.

“Han-ko…!”

Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh. Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,

“Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?”

“Suheng, sudahlah…!”

Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.

“Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!” bentak Bu Pun Su marah.

“Suheng, jangan melukai dia… aku cinta padanya…” jawab Han Le sambil menghadang di tengah.

“Han-ko, dia bukan suhengmu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!”

Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya. Kini Han Le tidak bicara lagi, melainkan diputarnya pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su.

Kakek sakti itu menarik napas panjang.
“Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela melihat suteku binasa dalam tanganku daripada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!”

Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su mempercepat dan memperkuat gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga mempunyai keistimewaan masing-masing.

Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andaikata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apalagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat sutenya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membela wanita jahat itu!

“Han Le, mundur kau!” berkali-kali Bu Pun Su berseru, akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan pedangnya.






“Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!” sebaliknya Pek Hoa berkali-kali membujuknya.

Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sutenya tanpa ada perhatian, pendekar ini menjadi marah dan membentak,

“Han Le, kalau begitu robohlah kau!”

Ia mengirim serangan hebat ke arah sutenya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-in-hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang.

Akan tetapi akibatnya, pedangnya terpental dan ia terguling roboh, tulang pundaknya terlepas sambungannya karena pukulan Pek-in-hoat-sut yang lihai, Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun pula karena sambungan tulangnya terlepas, juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.

“Keparat, rasakan pembalasanku!” Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu Pun Su.

“Siluman betina, kau harus mampus!” bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang keji ini.

Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku,

Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Namun wanita ini memang sudah nekat. Bagaimana seekor singa betina, ia menerjang maju, kini mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi,

Namun sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat ia terguling dan merintih-rintih kesakitan.

“Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!” kata Bu Pun Su sambil melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.

“Suheng, tahan…!” Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis, “Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biarlah siauwte saja Suheng bunuh sebagai penebus nyawanya.”

Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.

“Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?”

Han Le menggeleng kepalanya.
“Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte merana disini, biar siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya.” Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, “Pek Hoa, selamat berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya.”

Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya ialah mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun sudah terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu-dombakan Han Le melawan Bu Pun Su.

Akan tetapi setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan. Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian.

“Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!” Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Han Le dan berkata,

“Kau jembel busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar kau dapat membalas budi kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Tak tahunya, menghadapi orang ini saja kau memperlihatkan ketidak-gunaanmu. Hah, kau memualkan perutku!”

Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.

“Wanita yang berbahaya sekali. Hmmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega menghancurkan hati Han-sute,” katanya perlahan dan tiba-tiba keningnya berkerut ketika ia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran keluar dari sepasang matanya.

“Eh, Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa menghancurkan hatimu? Di mana sifat jantanmu, Sute?”

Han Le menggeleng-geleng kepalanya.
“Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu siauwte mengerti bahwa dia hanya… mempermainkan siauwte belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini… bagaimana siauwte bisa membencinya? Dia… dia telah mejadi calon ibu anakku…”

Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.
“Apa katamu? Betul-betulkah begitu?”

Han Le mengangguk.
“Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya. Suheng, siauwte sudah bersumpah takkan meninggalkan pulau ini, akan menanti disini sampai datang maut mencabut nyawa, untuk menebus dosa siauwte. Akan tetapi anak itu… ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte menambah dosa siauwte membuat siauwte tak dapat mati dengan mata meram.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat itu.

“Baikiah, Han-sute. Tadinya aku datang untuk minta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, setelah terjadi peristiwa antara kau dan tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan. Kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Biarpun kau takkan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, aku akan datang sewaktu-waktu menemanimu disini.”

Han Le menghaturkan terima kasih dan tak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-tho dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tak pernah disangkanya bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk daripada nasibnya sendiri.

**** 055 ****





Tidak ada komentar :