*

*

Ads

Minggu, 31 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 072

Melihat pasangan kuda-kuda ini, didalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah murid kedua lebih pandai daripada murid pertama?

“Baiklah, Suheng. Siauwte menanti pelajaran dari Suheng!” kata Sun Hauw sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu.

Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru,
“Awas serangan!” dan tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw.

Pemuda ini dengan tenang lalu memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi ia kaget sekali ketika lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena ia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan ini demikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!

Ah, sekarang tahulah dia. Ji-suhengnya ini adalah seorang yang memiliki lwee-kang tinggi sekali, mugkin lebih kuat daripada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tidak berani lagi ia menerima pukulan suhengnya dengan tangkisan langsung, sebaliknya ia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Ia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan gin-kang istimewa dari mendiang gurunya.

Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biarpun tidak mengenai tubuhnya, sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Ia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lwee-kang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lwee-kang tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).

Biarpun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya mengalahkan Sun Hauw.

Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam daripada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kiranya kalau mengenai tepat pada sasarannya akan mendatangkan akibat hebat!

Karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhunya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.

“Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?” bentak Tek Le Tojin!

“Suheng yang mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak terdapat pukulan macam itu!”

“Begitu? Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”

Setelah membentak begini, Tek Le Tojin lalu memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus mempergunakan kelincahan untuk mengelak.

Kemudian dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, ia membalas dengan serangan-serangannya yang tidak dikenal gerakannya oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan. Dalam marahnya, ketika kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin lalu menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.

“Plak!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya membuat kedua tangan Sun Hauw menjadi menempel dan perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suhengnya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!






Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suhengnya sedang menyerangnya dengan tenaga lwee-kang yang tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini kalau sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)!

Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lwee-kangnya untuk melawan serangan ini. Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lwee-kang dari mendiang suhunya dan biarpun tingkatnya masih kalah banyak dalam hal tenaga lwee-kang oleh suhengnya ini, akan tetapi setidaknya tenaganya dapat menolak kembali serangan itu dan dapat ia mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.

Akan tetapi harapannya ternyata kosong belakang. Tek Le Tojin tidak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam mengadu tenaga lwee-kang itu, ia masih membuka mulut menyindir,

“Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Benar-benar mengecewakan dan memalukan sekali!”

Diperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!

“Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!”

Tiba-tiba terdengar suara menggeledek dan Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, tenaga yang dahsyat melalui sepasang lengannya menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tempelannya lenyap tenaganya.

Sun Hau, mempergunakan tangan sambil melompat ke belakang. Ia terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.

Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbuka lebar dan mulut tersenyum masam.

“Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan…!”

Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suhengnya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biarpun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi ia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja.

Setelah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.

“Sungguh berbahaya…” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong.”

“Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”

Karena baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya dari tekanan Tek Le Tojin sudah menyerang hebat, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya.

Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini ia baru tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.

“Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku karena aku murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun Hauw bercerita, “Dahulu Suhuku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhuku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya ia hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai yang amat kukuh sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dan Susiok.

Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu hendak memperkembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat dipergunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang mengkhawatirkan kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”

Kiang Liat mengangguk-angguk.
“Dua macam pendirian, namun keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhumu benar karena apakah artinya para guru besar Go-bi-pai dahulu susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, susiokmu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biarpun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.”

“Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasihat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”

“Di manakah kampungmu?”

“Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai tujuh tahun. Aku muridnya tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang sudah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu.”

Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apalagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak mempunyai ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya. Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai mantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok.

Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa kagum sekali kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.

“Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini murid siapakah?”

Kiang Liat tersenyum.
“Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pemah menjadi murid Suhu Han Le, juga pernah menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng dan Supek Bu Pun Su pemah pula memberi pelajaran kepadaku.”

“Aduh, pantas saja Lo-enghiong begini lihai…” Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. “Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.”

“Hushh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapapun tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapapun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai daripadanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?”

“Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong kepadaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”

“Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku, ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali…”

Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.

“Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong…” cepat-cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.

Pendekar ini membuka kedua mata, bibimya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah.

“Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”






Tidak ada komentar :