*

*

Ads

Minggu, 31 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 073

“Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”

“Baiklah Sun Hauw, kau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku…”

Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihan, Sun Hauw yang pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.

“Loenghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?”

Maksud Sun Hauw berhasil. Kini setelah teringat akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan hanya dapat membikin Kiang Liat untuk sementara melupakan isterinya yang sudah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.

“Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha, ha, orang sudah memberi julukan padanya Ang I Niocu! Salahnya sendiri, dia sejak kecil suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi daripada tingkat kepandaianku!”

Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, dan sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bemama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi?

“Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw.

“Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?”

Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.

“Belum Lo-enghiong.”

“Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya kalau sudah mempunyai jodoh.”

“Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?”

Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.
“Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi ucapanmu itu tidak betul. Bukan kemiskinan yang mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, melainkan ketidak rukunan atau ketidak cocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteraku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, maka sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu ia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami.

Selain ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”

Mendengar kata-kata ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tidak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.

“Bagaimana, anak muda? Bersediakah kau menjadi calon suami puteriku?”

Didesak begini, Sun Hauw tak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab,

“Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tak tahu bagaimana harus menjawab. Kiranya perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah di Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.”

Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.
“Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha, ha, ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau takkan dapat tidur nyenyak lagi. Ha, ha, ha!”

“Aku yang bodoh menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku takkan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”

Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Ia menuju pulang ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.

**** 073 ****





Tidak ada komentar :