*

*

Ads

Minggu, 31 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 074

Giok-gan Niocu Song Kim Lian semenjak kecilnya memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan. Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoinya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok.

Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoinya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi! Ia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit.

Setiap hari Kim Lian bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan, pergi berpesiar sambil bergurau gembira.

Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di Sian-koan?

Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat ia menjadi makin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!

Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah ketika dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan, Kim Lian keluar dan bermain silat pedang di tengah-tengah taman.

Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!

Tepuk tangan riuh-rendah dan sorak-sorai gembira setiap kali terdengar menyambut setiap jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tidak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan agar setiap gerakannya dapat “dinikmati” oleh pandang mata kawan-kawannya.

Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis dan mata jeli, melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.

“Suci…!!”

Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.

“Pergi kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang menggertak rombongan pemuda itu.

Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.

“Sumoi… kau sudah datang? Ah, mereka itu… eh, aku… aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta…”

“Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus…”

“Mereka… mereka itu mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan, aku… aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi” Kim Lian mencoba membantah.






Im Giok menghela napas, kehabisan akal. Memang ia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak “mata keranjang”.

“Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang.”

“Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi dimanakah mencari pemuda gagah seperti Suhu di waktu muda? Karena tidak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun… bolehlah…”

“Cukup! Suci, mengapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakaian yahg pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.”

“Siapa?” tanya Kim Lian terheran.

Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.

“Dia adalah Gan-siucai.”

“Ooo, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu kita tolong dari tangan perampok?”

Im Giok mengangguk.
“Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekas kau berganti pakaian.”

“Apa Suhu belum pulang juga?” tanya Kim Lian.

“Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang, aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?” jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan sucinya yang ditinggal seorang diri di rumah.

Ia akan perlahan-lahan membicarakan tentang sikap sucinya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup sucinya ini.

Setelah Kim Lian muncul lagi, Im Giok makin mendongkol saja. Sucinya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, sucinya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya dibedaki tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah!

Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,

“Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?”

Tiauw Ki tersenyum
“Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!”

Kim Lian mengeluarkan suara ketawa,
“Ah, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang masih berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu itu yang demikian besarnya, sampai mati pun aku Song Kim Lian takkan dapat melupakannya!”

Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok-gan Niocu (Nona bermata Kemala).

Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia berkata kepada Im Giok,

“Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja ia akan datang tak lama lagi.”

Im Giok juga mendongkol melihat sikap sucinya, maka memang lebih baik kalau kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,

“Baikiah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota adalah rumah penginapan terbesar dan baik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu.”

Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.

“Eh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!” Wajah Im Giok menjadi merah sekali.

“Jangan main-main, Suci. Betapapun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.”

“Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan… aduh, aku tahu, aku dapat menduga… hi-hi-hi-hi…!”

“Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau tahu? Apa yang kau bayangkan dan kau duga?”

“Ah, begitu mesra, adduuuhhh…” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.

“Suci, jangan bikin aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kau duga?”

“Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?”

“Kau menyangka keliru!”

“Yang betul bagaimanakah?” Kim Lian memancing.

“Takkan kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah.

“Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya…” kembali Kim Lian menggoda.

“Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk… meminangku. Ini sungguh-sungguh bukan main-main!”

“Aaaahh… begitukah?” Kim Lian memeluk sumoinya. “Adikku yang manis, kau harus menceritakan pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?”

Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.

“Dia seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar kepada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”

Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.

“Eh, Suci, mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak sucinya.

“Adikku… aku girang sekali… akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau… menikah dan pergi, bagaimana dengan diriku? Sumoinya sudah menikah dan sucinya belum, apa akan kata orang…?”

Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.
“Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa.”

Ia menghibur dan diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki.






Tidak ada komentar :