*

*

Ads

Minggu, 31 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 075

Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan setiap hari ia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam ia mengikuti sucinya, akan tetapi temyata setelah Im Giok pulang, Kim Lian tidak berani main gila lagi dan kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota dan kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginannya dan ketenangannya menunggang kuda.

Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa sucinya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan.

Setiap hari Im Giok menyuruh seorang pelayan pergi ke rumah penginapan Liok-nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenamya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!

Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama sucinya itu.

Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,

“Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?” Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.

Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya,

“Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku dan aku menceritakan kabar girang itu kepada Suhu tadi…”

“Kabar girang…?? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!” kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini Kim Lian membungkuk dan berkata,

“Baiklah, Suhu.”

Kemudian ia keluar dari kamar itu dan dari pinggir Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir sucinya.

Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar,

“Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang kini datang untuk melamarmu?”

Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya dan berkatalah ia dengan suara tenang,

“Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”

“Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?”

Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya juga suka marah-marah seperti itu, akan tetapi belum pemah terhadap dia ayahnya marah-marah tanpa alasan. Sebaliknya dia sejak kecil dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan setelah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya.

“Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat dan kenal?” kini gadis itu membantah marah.






Biasanya kalau sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya kalau Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,

“Tak usah dilihat, tak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!”

“Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!”

Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?

“Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” ia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.

“Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sebetulnya di antara para penggerak pensil juga tidak kurang terdapat orang-orang berjiwa kesatria dan bersemangat api! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar biarpun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.”

Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika ia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Dituturkan semua pengalamannya itu dengan singkat dan terutama sekali ia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.

Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggeleng kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.

“Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin kau sampai dihina orang, tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?”

Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih.
“Demikianlah kehendaknya.”

“Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahu dia bahwa dia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!”

Im Giok mendengar kata-kata ini menjadi pucat.
“Ayaaaahhh…!” serunya, setengah marah setengah terkejut.

Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak…!”

Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya.

“Tidak…!” katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!”

“Im Giok…!”

“Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!”

Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya dimana ia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.

Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tak berkedip. Kata-kata lari minggat meninggalkannya amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya.

Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling kalau tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya.

Pikirannya tidak karuan rasanya, matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu terputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras amat nyeri dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,

“Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan aku seorang diri…!”

Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi akhimya ia mengerti.

Selama ini ayahnya memang bersikap aneh dan kadang-kadang mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggii-manggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini karena dia hendak meninggalkan ayahnya!

“Ayaah…” Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah…”

Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.

“Im Giok, anakku sayang benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku…” tanyanya dengan suara berbisik.

Im Giok terisak menahan tangisnya.
“Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu…”

Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.

“Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu… Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu…”

“Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja.

Kiang Liat tersenyum pahit.
“Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?”

Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,

“Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu…”

Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya. Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.

Sekarang ayahnya masih belum tenang, maka Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki, karena ia pikir betum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya dan hati Im Giok menjadi lega.

Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata,
“Im Giok, aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam.”

“Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok.

“Tak usah. Kalau ia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.”

Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau ia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa ia menanti di rumah dengan hati berdebar dan ia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada sucinya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebar hatinya.

**** 075 ****





Tidak ada komentar :