*

*

Ads

Selasa, 02 April 2019

Ang I Niocu Jilid 076

Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tidak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya. Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dahulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya dan pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam ia mendengkur seperti itu.

Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula. Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya.

“Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!”

Pikiran inilah yang semalam tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan.

Setelah tiba di penginapan Liok-nam Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu amat terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,

“Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Tai-hiap sudah mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Tai-hiap?”

“Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?”

Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya selaku orang mengumpulkan ingatan. Kemudian ia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.

“Ah, ada… ada… Tai-hiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.”

“Ya, lekas kau panggil dia keluar menemuiku.”

“Baik, silakan Tai-hiap menanti di kamar tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan.

Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya?

Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,

“Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberitahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentu kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apabila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap.”

“Eh, Lopek. Apakah kau pagi-pagi buta mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan ini saja?”

Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja sudah menunjukkan jelas bahwa pelayan ini bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan.

“Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu kalau tidak ada peristiwa amat penting?” Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung.”

“Siapa dia?”

Tiauw Ki bertanya penuh gairah karena memang sudah lama ia mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.

“Masa Kongcu tidak bisa menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya.






“Dari keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.

Pelayan itu tertawa dan mengeluarkan jempolnya.
“Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!”

“Suruh dia lekas ke sini!” seru Tiauw Ki.

Pelayan itu melenggong.
“Suruh ke sini? Dia…”

Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya,
“Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?”

“Ah, bukan… bukan…! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta supaya Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!”

Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini.

“Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah kepadaku apabila Kongcu terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.

Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Ia sudah sejak tadi bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana.

Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu. Maka cepat-cepat ia berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar ketika ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah keren duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.

Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,
“Mohon dimaafkan banyak-banyak bahwa boanpwe telah membuat Tai-hiap menanti sampai lama.”

Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri.

Akan tetapi setelah ia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun!

Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang telah dibunuhnya! Baik wajah maupun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.

“Kau… Cia Sun…” tak terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit.

Tiauw Ki memandang heran.
“Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki…”

“Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?”

“Betul, Tai-hiap”

“Dan kau… kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu…?”

Suara Kiang Liat setengah berbisik dan sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.

Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian ia dapat menetapkan hatinya dan berkata dengan suara tegas,

“Kalau Tai-hiap tidak menolak, memang boanpwe mohon persetujuan Tai-hiap untuk meminang Adik Kiang Im Giok…”
“Kau…? Kau Cia Sun jahanam keparat telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?”

Sambil berkata demikian, Kiang Liat berjalan maju menghampiri Tiauw Ki perlahan-lahan, sikapnya mengancam dan menyeramkan.

Tiauw Ki melangkah mundur,
“Kiang-taihiap, apa artinya kata-katamu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun…”

“Jahanam! Biarpun kau memakai nama siapapun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukut dada dan kepala Tiauw Ki.

Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekalipun belum tentu akan dapat menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apalagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki. Ia tak berdaya sama sekali dan sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan lemah dan tubuhnya terlempar ke belakang, menumbuk dinding dan roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!

“Ha, ha, ha, anjing Cia Sun! Anjing macam engkau ini hendak melamar puteriku? Ha, ha, ha!” Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.

Para pelayan kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu telah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas lantai.

Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok-gan Niocu Song Kim Lian.

Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian ia cepat berlari-lari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung ia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.

“Su-moi, celaka besar…!” Kim Lian memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.

Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, akan tetapi akhir-akhir ini setelah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan sucinya itu, maka tanyanya tak sabar lagi,

“Suci, apakah yang terjadi?”

Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga Im Giok hilang sabar. Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.

“Apa yang terjadi?”

“Celaka… Sumoi… Gan-siucai… oleh Suhu…”

“Apa? Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah…?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar keras.

“Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan…”

Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat didekapnya mulutnya sendiri, lalu bagaikan kilat ia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam.

Ruangan depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan Liok-nam masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.

“Minggir…!”

Serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke kanan kiri. Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai ketika ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya telah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.

“Gan-ko…” Bisiknya.

Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Kalau tidak kuat-kuat ia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan!






Tidak ada komentar :