*

*

Ads

Sabtu, 06 April 2019

Ang I Niocu Jilid 081

Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali. Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin dan lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian murid-murid Keng Thian Siansu.

Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main. Biarpun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lwee-kang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Cepat tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok di punggugnya. Sun Giok Sianjin terkenal lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yakni seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil menggunakan tangan kiri daripada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran menghadapi seorang yang mainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka dari hwesio telinga buntung ini. Biarpun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tidak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi baru menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.

“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar, dengan gerak tipu Hek-in-koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan) gerakan ini disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu-sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan kemana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan setelah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lwee-kang I-kin-keng ini, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher dari samping!

Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya sehingga apabila hwesio itu berani menangkis, sungguhpun tidak dapat ia menangkan tenaga lwee-kang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedang setidaknya tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar lihai sekali. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi berat itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong macam Siok-lui-kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Sungguh luar biasa sekali.

Biarpun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapapun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lwee-kang dikerahkan dan “krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!

Kong Mo Taisu tertawa bergelak sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah kalah oleh hwesio itu, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada murid keponakannya itu, namun kalau disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.






Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin ia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apalagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit ia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”

Kong Mo Taisu memandang tajam.
“Kau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat.” Keng Thian Siansu menyeringai.

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tidak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang kau karena takut kepadanya bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai dimana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai, sebagai cucu muridnya.

Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar. Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada Hok Bin Taisu sendiri dan kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya. Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang sudah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.

Keng Thian Siansu mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san, menjadi mendongkol sekali. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, melainkan puncak kepandaiannya, yakni tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu.

Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya, apalagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan hinaan potong telinga oleh mendiang suhengnya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suhengku membuntungi telinga kirirnu. Kau mau membalas dendam dahulu? Baikiah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja hendak memanaskan hati dan membuat hwesio itu marah, karena hanya kalau hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lwee-kang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sukar sekali untuk mengumpulkan hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sin-kang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu benar-benar tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras ia yang tadinya tidak mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dibuat ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suhengmu!” bentaknya sambil mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai dan debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat di tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw dapat menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lwee-kang, maupun gin-kang yang sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang kuat tentu kulit dan daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, tahu-tahu rantai itu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya!

Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun-kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah, mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja.

Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia dapat menangkis serangan lawan yang tentu saja mempergunakan sistim setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada di pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan kini tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa kalau sampai Ketua Kun-lun-pai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu takkan dapat keluar dari situ dalam keadaan selamat.

Biarpun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun tidak akan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, melainkan sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi.

Kalau tamu mereka itu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup takkan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.






Tidak ada komentar :