*

*

Ads

Sabtu, 06 April 2019

Ang I Niocu Jilid 082

Adapun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu dan empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu juga Seng Thian Siansu pasti kalah olehnya. Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna.

Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia telah salah duga. Kiranya, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja ia takkan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya, ia dapat menangkan Keng Thian Siansu hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, ia tidak mengelak, bahkan sodokan tongkat itu dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan dengan ujung rantai melibat ujung tongkat.

“Buk!” ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa-apa, dan sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai.

Betapapun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan tangan kirinya yang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu kehilangan tongkat terampas lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu jari-jarinya telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lwee-kang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lwee-kang dari hwesio itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih, maka setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang biarpun dilakukan tanpa mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya melebihi silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang, orang bertanding mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang “tidak kelihatan” namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Bu Pun Su maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun tongkatnya lenyap, berarti ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar daripada nyawanya! Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya.

Batuknya makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!

“Ayaaaa…”






Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut.

Tosu tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Kini Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.

“Bu Pun Su, kau memang pengecut dan tak tahu malu!”

Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!

Bu Pun Su tersenyum mengejek,
“Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”

“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku dan sekarang kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan laki-laki?”

Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini.
“Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus diadakan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhah nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula.”

“Jahanam, kau memaki aku anjing?”

“Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku membunuh dua orang cucu muridmu?”

“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”

Bu Pun Su tertawa geli.
“Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya mana ada setan yang suka?”

Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya.
“Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”

Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop.
“Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”

“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan lapat-lapat suara ini yang mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, dijawab oleh auman binatang-binatang buas!

“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Kiranya siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tidak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau… ah, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati melaksanakan permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”

Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua!

Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, lalu langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar ia hanya diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di mana wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-tho.

Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.

“Apapun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.

Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.

Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke guanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.

Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Kong Mo Taisu biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa bertahun-tahun akan tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin.

Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apalagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!

Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang menimbulkan marahnya.

“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.

Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lwee-kang dan ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu amat berbahaya. Akan tetapi di samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.

Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudiah berkatalah Bu Pun Su,

“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan sehingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat sehingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”






Tidak ada komentar :