*

*

Ads

Sabtu, 06 April 2019

Ang I Niocu Jilid 083

Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.

Sekali saja kakek ini menggeser kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat kosong, dan hanya sejari terpisah dari anggauta tubuh!

Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.

“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?”

Bu Pun Su bicara terus dan cepat menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.

“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempersolek diri menjauhkan nafsu berahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”

Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi kau biarpun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”

Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi.

Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus lebih serangan-serangannya tak pernah berhasil? Apalagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!

Pukulan rantai ke arah kepala kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasai sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.

“Siancai… sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat…” kata kakek sakti ini dan cepat ia mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya.

Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!

Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca Pendekar Sakti).

Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya gerakannya biasa saja, namun lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung baja itu sudah digenggamnya.






Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai itu biarpun terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.

Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lwee-kang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biarpun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.

Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh tangan kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu.

Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.

“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak takkan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan melupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!”

Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.

Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.

Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya! Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.

“Curang…!”

Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.

Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.

Diam-diam ia telah menyediakan tenaganya di pundak. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su menyalurkan tenaganya dari kedua pundak tangan, menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.

Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali. Terdengar suara “krek… krek… krek….!” dan satu demi satu mata rantai itu hancur!

Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.

“Siancai… siancai… Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang,

Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu amat jahat dan tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.

Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.

Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai tentang kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.

Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su untuk menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang.

Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.

**** 083 ****





Tidak ada komentar :