*

*

Ads

Sabtu, 06 April 2019

Ang I Niocu Jilid 084

Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.

Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak.

Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran. Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali.

Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di Sian-koan ia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian ia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.

“Susiok-couw… teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang… membunuh Ayah…” Ia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.

Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia menjumpai Im Giok, lebih dulu kakek ini telah mencari keterangan tentang terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.

“Susiok-couw… harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu… sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu tidak kuat menanggung dosa…” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.

“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkat muka dan dada, arahkan pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”

Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuatnya sadar kembali.

Diangkat mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya dengan mata penuh harap dan tanya.

Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.

“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”

Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,

“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah… Ayah meninggal dunia dalam keadaan… sebagai… sebagai musuh teecu…” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.

“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Kau semenjak kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”






Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,

“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”

“Banyak sekali yang dapat kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”

“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”

Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan orang akan kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.

“Baiklah, Im Giok. Aku pun sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki tentang pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”

Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,” katanya, kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki.

Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya.

“Dimana adanya sucimu?” tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai bersembahyang.

“Kalau tidak pergi, tentu ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan sucinya itu.

“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”

Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.

Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberitahu kepada siapapun juga.

Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa sucinya itu telah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa sucinya itu pergi jauh dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.

“Im Giok, disamping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati sucimu itu. Jangan sampai dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan menyemarkan nama baik kita. Betapapun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itupun anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas sepak-terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”

Setelah banyak-banyak memberi nasihat yang merupakan hiburan dan pembangkit semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan.

Setelah kakek ini pergi, Ang I Niocu lalu menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san. Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual rumah dan semua isinya.

Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, disamping memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.

Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam perjalanannya, ia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah!

Pulih kembali kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.

Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang itu masih ada sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher.

Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dahulu selalu dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.

Sepasang telinganya yang sebagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.

Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh kemanisan dan keindahan yang tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.

Mata ini sekarang agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan kegagahan, sekarang disitu terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.

Mungkin dahulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti sinar mata kanak-kanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masak-masak dulu sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.

Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat sesuatu yang merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.

Akan tetapi, kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, dimana kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah matanya ataukah mulutnya.






Tidak ada komentar :