*

*

Ads

Sabtu, 06 April 2019

Ang I Niocu Jilid 085

Baju dalamnya, yang nampak hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru. Kemudian bajunya terbuat dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan membayangkan bentuk tubuhnya yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.

Ikat pinggang ini yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapapun menariknya gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan berlaku kurang ajar karena Ang I Niocu selain bersikap agung, juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.

Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih kesayangannya. Dalam perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma.

Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya. Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.

Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu makin sayang kepada Pek-hong-ma.

Pada suatu hari ketika ia tiba di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.

Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.

“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tidak tahu malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.

Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata,

“Suamiku, mengapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminangku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku… di mana aku harus menempatkan mukaku?”

“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”

Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata,
“Suamiku, mengapa kau begitu keji…?”

“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!”

Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling dan mengaduh-aduh. Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.

“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian…!”

“Jangan banyak cerewet….”






Kata-kata si suami ini terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahu-tahu telah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan! Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.

“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”

Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,

“Ampunkan hamba… dia itu, adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba menggunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai turunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba…”

Sejak tadipun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?

“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”

“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.

“Biarpun andaikata ia menjadi buruk rupa atau… sepasang telinganya hilang sekalipun?”

“Apapun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya…” jawab isteri yang setia ini.

Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau harus diberi hajaran. Rasakan ini!”

Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.

“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”

Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala di atas pangkuannya.

Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis itu sambil berkata,

“Aku sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali.”

Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!

Sambil duduk di atas kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan semua peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,

“Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu…! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku. Perempuan tadipun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji.”

Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang li-hiap (pendekar wanita).

Pandangannya terhadap cinta kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik kalau ia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.

Perjalanan menuju ke Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini adalah daerah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya.

Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.

Gerombolan perampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing.

Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san dan menyerbu Min-san Sam-kui ini, akan tetapi para pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.

Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu mereka oleh karena memang tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal) yang gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim dan kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.

Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang amat hebat.

Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.

Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah.

Sifatnya yang lemah lembut berubah beringas dan ia kejam sekali. Berbeda dengan suhengnya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lwee-kang dan pedangnya amat tangguh dan lihai.

Memang dahulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwa-kang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lwee-kang kepada pemuda tampan ini.

Adapun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, kalau Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak dan telengas.






Tidak ada komentar :