*

*

Ads

Senin, 08 April 2019

Ang I Niocu Jilid 086

Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Biarpun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali.

Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi kalau Kwan Liong mainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa mainkan sepasang pedang dan karenanya ia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang!

Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!

Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini tertarik sekali akan keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Ia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah-putih kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.

“Indah nian tempat ini…” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu.

Keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya menggugah jiwa seninya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Serangkaian sajak tidak terasa telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona oleh keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.

“Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati!”

Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali maka dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ.

Makin lama orang-orang yang mengintainya ini makin mendekat, menyelinap diantara pohon-pohon. Setelah mereka datang dekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpemandangan tajam itu dapat melihat mereka. Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu berkata, suaranya merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,

“Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!”

Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.

“Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”

Seorang diantara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, tertawa bergelak, cengar-cengir, seperti monyet memandang kepada kawan-kawannya.

“Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah kalau kau yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”

Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum.

Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah. Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi, maka kini ditanya nama dan asal usulnya, ia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.






“Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati
Kau masih bertanya maksud.keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon
Terbang ke sini berkehendak apakah ?

Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tidak peduli tentang sajak, akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu tentang keanehan orang-orang kang-ouw, maka biarpun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang parau,

“Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sukar dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukannya orang-orang yang tidak menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”

Biarpun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,

“Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!”

Setelah berkata demikian Ang I Niocu lalu berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.

Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar dan menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata,

“Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”

Ang I Niocu mengerti bahwa ia berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apabila lewat di daerah mereka harus “membayar pajak jalan” atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!

“Berapa aku harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.

Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan di dunia kang-ouw agar jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.

Akan tetapi, orang-orang itu saling pandang dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.

“Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”

“Setuju…! Biar hilang sombongnya!”

“Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”

Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,

“Kau dengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada kami.”

Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu. Ang I Niocu tetap tersenyum akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan cahaya berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.

Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang ia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya? Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu makin tergiur hatinya.

“Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!”

Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.

Si Hidung Hitam tahu-tahu kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah, ada pula yang daun telinganya pecah dan ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!

Ang I Niocu melempar rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis dan langkah tenang ia turun dari tempat itu menghampiri kudanya. Dengan perlahan ia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Ia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.

Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.

Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.

“Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.

Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.

Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung kemarahan besar, sungguhpun kemarahan Ang Kim tercampur oleh keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.

“Demi Iblis!” katanya perlahan dengan mata tak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!”

Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan,
“Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan kau salah duga, siluman rase disangka dewi kahyangan.”

“Biarpun ia siluman rase atau siluman tikus, kalau bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali… alangkah manisnya, eh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm…”

Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak jauh ini kiranya takkan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam daripada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu dan diam-diam ia tersenyum geli.

Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus,
“Nona yang lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan sudah melukai orang-orang kami secara kejam. Sebetulnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah sengaja kau mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”




Tidak ada komentar :