“Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf kepadaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga, andaikata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couwku Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Biar kalian sekalipun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”
“Bocah sombong rasakan, pedangku!”
Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu.
Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa. Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua kalau ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat, tentu akan terlepas pula!
“Sumoi, tahan…!”
Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
“Ah, tidak tahunya Li-hiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Li-hiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”
Diantara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoinya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.
Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.
“Kalau mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sesungguhnya hanya kebetulan lewat belaka, mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi Ang I Niocu, tidak perlu ia menanam bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apalagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Ia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka ia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
“Lihiap Ang I Niocu, aku yang. rendah Pek-ciang Kwan Liong, ikut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau telah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaianmu dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Li-hiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan cepat-cepat pergi dari situ. Akan tetapi, orang telah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga kalau ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ah, Koko, kau ini tidak bisa melihat gelagat. Lihiap Ang I Niocu biarpun sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”
Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
“Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”
Berseri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk mempersiapkan segata sesuatu di “pesanggrahan” untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Setelah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, adapun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang rata-rata para pemudanya tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong!
Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apalagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, dan pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan tamu yang lebar itu telah sedia meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahah masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesukaan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya Ang Kim setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.
“Untuk menghormati kedatangan Li-hiap, sebelum melanjutkan perjalanan kami mengadakan sekedar makan-minum. Setelah mengaso sebentar baru Li-hiap dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.
“Mana bisa begitu sebentar? Kami harap Li-hiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,”
Kwan Liong menyambung cepat-cepat, sedangkan Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandang mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!
“Undangan makan kuterima dengan senang hati dan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam disini betul-betul tak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.
Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnyalah amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya.
Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.
Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.
“Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan menambah semangat. Harap Li-hiap sudi menerima secawan arak untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”.
Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi.
Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya. Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya mencium bau keras diantara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu menenggak arak itu. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, berdiri, dan memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Ia mendengar Ang Kim bertanya,
“Eh, eh, Li-hiap kenapakah…?” Juga ia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian ia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, “Aha, sudah kena… roboh… roboh…”
Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!
“Sute apa yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sutenya.
Kwan Liong tidak menjawab akan tetapi yang menjawab adalah Kwan Bi Hoa yang tertawa-tawa genit,
“Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?”
“Bi-moi benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “belum pernah selama hidupku aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”
Ang Kim menarik napas panjang.
“Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali…”
“Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali ia sudah menjadi punyaku, tentu ia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”
Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya.
“Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum…” terdengar dengan lahapnya ia mengunyah daging dan mendorongnya ke dalam perut dengan arak beberapa teguk.
Kwan Bi Hoa yang sudah setengah mabuk, membelai-belai rambut seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, sedangkan Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, dan berlutut.
Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.
“Ayaaa…!”
Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api, pedang di tangan dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri seperti patung di atas kursinya, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama ia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwah Bi Hoa juga melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.
“Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini kalau tidak dibasmi, untuk apalagi aku sejak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu dan sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bli Hoa.
Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.
“Bocah sombong rasakan, pedangku!”
Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu.
Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa. Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua kalau ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat, tentu akan terlepas pula!
“Sumoi, tahan…!”
Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
“Ah, tidak tahunya Li-hiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Li-hiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”
Diantara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoinya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.
Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.
“Kalau mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sesungguhnya hanya kebetulan lewat belaka, mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi Ang I Niocu, tidak perlu ia menanam bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apalagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Ia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka ia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
“Lihiap Ang I Niocu, aku yang. rendah Pek-ciang Kwan Liong, ikut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau telah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaianmu dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Li-hiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan cepat-cepat pergi dari situ. Akan tetapi, orang telah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga kalau ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ah, Koko, kau ini tidak bisa melihat gelagat. Lihiap Ang I Niocu biarpun sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”
Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
“Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”
Berseri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk mempersiapkan segata sesuatu di “pesanggrahan” untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Setelah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, adapun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang rata-rata para pemudanya tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong!
Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apalagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, dan pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan tamu yang lebar itu telah sedia meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahah masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesukaan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya Ang Kim setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.
“Untuk menghormati kedatangan Li-hiap, sebelum melanjutkan perjalanan kami mengadakan sekedar makan-minum. Setelah mengaso sebentar baru Li-hiap dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.
“Mana bisa begitu sebentar? Kami harap Li-hiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,”
Kwan Liong menyambung cepat-cepat, sedangkan Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandang mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!
“Undangan makan kuterima dengan senang hati dan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam disini betul-betul tak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.
Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnyalah amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya.
Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.
Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.
“Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan menambah semangat. Harap Li-hiap sudi menerima secawan arak untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”.
Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi.
Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya. Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya mencium bau keras diantara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu menenggak arak itu. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, berdiri, dan memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Ia mendengar Ang Kim bertanya,
“Eh, eh, Li-hiap kenapakah…?” Juga ia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian ia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, “Aha, sudah kena… roboh… roboh…”
Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!
“Sute apa yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sutenya.
Kwan Liong tidak menjawab akan tetapi yang menjawab adalah Kwan Bi Hoa yang tertawa-tawa genit,
“Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?”
“Bi-moi benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “belum pernah selama hidupku aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”
Ang Kim menarik napas panjang.
“Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali…”
“Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali ia sudah menjadi punyaku, tentu ia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”
Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya.
“Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum…” terdengar dengan lahapnya ia mengunyah daging dan mendorongnya ke dalam perut dengan arak beberapa teguk.
Kwan Bi Hoa yang sudah setengah mabuk, membelai-belai rambut seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, sedangkan Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, dan berlutut.
Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.
“Ayaaa…!”
Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api, pedang di tangan dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri seperti patung di atas kursinya, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama ia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwah Bi Hoa juga melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.
“Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini kalau tidak dibasmi, untuk apalagi aku sejak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu dan sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bli Hoa.
Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar