*

*

Ads

Selasa, 02 April 2019

Ang I Niocu Jilid 080

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-tho terlambat,” jawab Bu Pun Su.

Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.

“Ketika aku mendarat di Pek-le-tho, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang tinggal di Pulau Pek-le-tho itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh,
“Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”

“Memang ada yang membantu…” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.

“Siapa…” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ah, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi…”

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,
“Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata-susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura.
“Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya. Keng Thian Siansu berseru,

“Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling pandang dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su.

Mereka ini yang dua orang adalah murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-tho.

Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-tho.

“Hm, kalau begitu sutemu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.

“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang telah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku membela suteku yang juga berdosa, akan tetapi harus diingat bahwa suteku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat:

Kalau orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang kuat sekali, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le telah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh tiga orang itu di Pulau Pek-le-tho dalam keadaan tidak sadar seperti dibawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum suteku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-tho. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”






Kiang Thian Siansu dan anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala dan mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le takkan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat daripada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang sudah mendengar penuturanmu dan kami percaya penuh kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal yang kaulah orangnya yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Kalau memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar telah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk bukti kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut.
“Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak,
“Ha, ha, ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata,
“Saudara dari Siauw-lim-si berlaku sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”

Tiga orang tosu lain yang hadir disitu kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu, juga tidak mendengar sesuatu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi biarpun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seakan-akan dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang dan yang orang ini adalah seorang hwesio gundul yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pun mukanya licin klimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang amat memburukkan rupanya adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Usianya sebetulnya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah ahli silat dari Siauw-lim-pai akan tetapi siapakah dia ini?

Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apabila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lwee-kang dan gin-kang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah saja dilihat bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” kata hwesio itu dengan muka tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biarpun kaum Kun-lun-pai berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tidak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu dan tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali. Apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, mereka tidak ambil pusing, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, benar-benar sudah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu lebih dulu dan tentu telah mempergunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan sampai di ruangan lian-buthia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tidak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang-ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tidak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat ia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu betapa Siauw-lim-si adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi mengapa kau ini hwesio yang mengaku-aku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau,

“Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek,
“Hwesio, kelirunya denganmu ini saja membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”

“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Setelah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan kagetlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tak tertahankan lagi. Baiknya ia cepat-cepat mengerahkan lwee-kangnya untuk menjaga keselamatan bagian halus dari telinganya dari kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lwee-kang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su telah mengerahkan tenaganya dan dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.

“Pernah dahulu Suhuku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah itu dapat mempelajari isi kitab tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selamanya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam gua di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng demikian tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?”

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget,
“Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi.

Hwesio keparat ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu memiliki sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya, hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng dan sahabat-sahabatnya dan biarpun tidak dapat dibinasakan, sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah akan tetapi sinar matanya makin berapi-api. Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak,

“Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!”

“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su dan tosu ini cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir.






Tidak ada komentar :