*

*

Ads

Senin, 08 April 2019

Ang I Niocu Jilid 090

“Aku adalah… orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah susiok-couwku, Bu Pun Su.”

Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan nama sendiri karena ia memang lebih suka namanya tidak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu.

Nama Ang I Niocu baru saja terkenal, dan para tosu Kim-san-pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi ketika Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.

“Maafkanlah, pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su. Marilah, kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto bertiga juga mau menghadap Suhu.”

Setelah berkata demikian, tiga orang tosu itu lalu berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru sekali.

“Maaf, Nona, pinto bertiga jalan di depan!” kata tosu tadi sambil menoleh, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya.

Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!

“Hebat… !” tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, “melihat kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-san-pai akan dapat tercuci bersih!” Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak.

Ketika tiga orang tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka juga sudah berada di situ.

Adapun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa dua orang tosu yang terluka. Tiga orang tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan dimana guru mereka bersila di lantai memeriksa dua orang anak murid yang tadi dipondong naik.

“Suhu…!” tiga orang tosu ini berlutut.

Kakek yang memeriksa tosu-tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi ia masih kelihatan sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya muram, tanda bahwa ia sedang menahan ketidak senangan hatinya.

“Siauw Seng Cu, coba kau ceritakan, apa yang sebetulnya terjadi atas diri dua orang susiokmu ini,” kata kakek itu yang bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari Kim-san-pai.

Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai mempergunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu pelayan.

Siauw Seng Cu, yakni tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Dan untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa sebabnya kedua partai itu sampal bermusuhan.

Kim-san-pai dan Bu-tong-pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-san-pai masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, karena pendiri dari Kim-san-pai adalah sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu sumber.

Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri.

Asal mulanya, kakak beradik seperguruan, yakni pendiri Bu-tong-pai dan pendiri Kim-san-pai, hanya berpisah puncak sebagai tempat bertapa. Akan tetapi kemudian murid-murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama, kalau pihak si suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To.






Inilah kiranya yang menjadikan jurang pemisah sehingga akhirnya timbul dua partai persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-san-pai penganut Agama To.

Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-tong-san berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau pendeta-pendetanya yakni anak murid Bu-tong-pai, terdiri dari hwesio-hwesio gundul. Sebaliknya di puncak Kim-san, berdiri kuil besar dari Agama To dan anak murid Kim-san-pai adalah tosu-tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu.

Selama ratusan tahun, perhubungan antara kedua partai ini baik saja, sungguhpun berbeda agama, akan tetapi mereka tidak mau saling menyinggung, tidak mau saling mengejek, walaupun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik.

Pendeknya, mereka kedua pihak sadar bahwa diantara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan, dan untuk menjaga jangan sampai terjadi salah paham, sengaja, kedua pihak saling menjauhi dan hanya “saling mendoakan” saja dari jauh!

Akan tetapi, kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng.

Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng ketika sedang menggembala kerbau, dibawa oleh seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat baik dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.

Setelah tamat mempelajari ilmu silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan ayahnya. Adapun Lai Seng dibujuk oleh gurunya untuk masuk menjadi hwesio karena oleh gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apabila suka menjadi hwesio.

Lai Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang ke dusunnya, dimana ia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.

Sayang sekali bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai Seng menjadi “binal” dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut.

Bahkan berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok! Berkali-kali Lai Tek yang mendengar akan kejahatan dan penyelewengan adiknya, menegur, bahkan pernah terjadi perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir dengan kemenangan Lai Tek.

Akan tetapi, Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih seringkali melanggar, sungguhpun kini secara bersembunyi agar jangan diketahui kakaknya. Lai Seng, maklum di dunia ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggauta keluarganya, juga tidak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasihat dengan pengharapan kelak adiknya yang masih mudah itu dapat merubah kesalahannya.

Pada suatu hari, ketika Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya sedang bertempur dengan dua orang hwesio gundul.

Lai Tek meninggalkan paculnya di tengah sawah, dengan kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu tepat pada saat ia datang.

“Keparat gundul, kau bunuh adikku?” bentaknya sambil menyerang.

Dua orang hwesio itu melompat mundur.
“Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk membunuh seorang anak murid Bu-tong-pai yang menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng.”

Lai Tek maklum bahwa dua orang hwesio ini tentulah orang-orang Bu-tong-pai yang datang menghukum Lai Seng, akan tetapi pada saat itu, perasaan kasih sayang terhadap adiknya dan kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu menutup semua pertimbangan.

“Dia itu adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji, tanpa minta pertimbanganku. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!”

Setelah berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang dua orang, hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, dan serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio Bu-tong-pai tewas di tangan Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan Bu-tong-pai.

Lo Beng Hosiang, Bu-tong-san Ciang-bunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,

“Lai Tek membalas sakit hatinya karena melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu sudah terang-terang meniadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap adiknya. Apalagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai, oleh karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang.”

Akan tetapi, para hwesio lain diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang hwesio yang merasa penasaran, diam-diam pergi naik ke puncak Kim-san-pai, menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes.

Thian Beng Cu, ketua Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes hwesio-hwesio Bu-tong-pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,

“Baiklah, pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid.”

Kata-kata ini memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu terletak dalam kesalahan memilih murid dari pihak Bu-tong-pai.

Inilah kata-kata sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-san-pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya. Para hwesio Bu-tong-pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan diadili, sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan pulang ke Bu-tong-san.

Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya tiga orang tosu Kim-san-pai atas perintah Thian Beng Cu mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan di tembok kamarnya terdapat tulisan dengan huruf darah, Mampuslah Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati tiga orang tosu itu. Tanpa memberitahukan guru mereka lagi, mereka lalu menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-tong-pai.

Terjadi pertempuran di puncak Bu-tong-pai, akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang tosu itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.

Ketua Kim-san-pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih dan menggeleng-geleng kepalanya

“Eh, eh, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?”

“Dan mereka itu tidak mau mengaku bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu,” kata seorang di antara tiga orang tosu itu.

Thian Beng Tosu mengangguk-angguk.
“Dapat dimengerti… dapat dimengerti. Sudah tentu saja Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tidak mau mengakui perbuatan rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan oleh seorang murid Bu-tong-pai secara diam-diam. Akan tetapi baik kita tunggu, tentu Lo Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu.”






Tidak ada komentar :