*

*

Ads

Rabu, 10 April 2019

Ang I Niocu Jilid 091

Demikianlah, ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, seringkali terjadi bentrokan antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan anak-anak murid Kim-san-pai.

Adapun lima orang yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah tosu-tosu Kim-san-pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.

Tujuh orang tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, pergi ke Bu-tong-pai untuk berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu.

Akan tetapi, sebelum tiba di kuil para hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit, mereka bertemu dengan serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang mereka naik. Karena kedua pihak memang sudah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu.

Masing-masing pihak mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu mengajukan diri. Dari pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen pula. Pertempuran berjalan sengit dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang jago muda, bukan seorang hwesio.

Pemuda ini lihai sekali dan melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukan anak murid Bu-tong-pai, melainkan lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai sekali.

Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi seorang kedua tosu tua Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok ini roboh, tentu saja lima orang tosu Kim-san-pai yang lain tidak berani maju, tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu. Mereka lalu menggotong tubuh dua orang tosu tua itu, dibawa kembali ke puncak Kim-san dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu.

Demikianlah penuturan Siauw Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang diantara lima orang tosu tadi. Ketua Kim-san-pai yang mendengar ini, nampak marah akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin menahan perasaannya.

“Kembali hal ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng Bu-tong-san dan diluar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak dapat ikut campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute kurang dapat menyabarkan hati dan telah terjun ke dalam pertempuran sebelum bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri.”

Ia menarik napas panjang lalu menyuruh murid-muridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Luka-luka mereka biarpun parah, akan tetapi tidak membahayakan jiwa.

Setelah dua orang yang terluka itu dibawa masuk, Thian Beng Cu menyapu para tosu anak-anak murid Kim-san-pai yang jumlahnya empat puluh orang lebih dan hadir di tempat itu, lalu berkata,

“Kalian harus dapat menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, tidak boleh sekali-kali mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kecuali kalau ada pihak mereka datang mencari gara-gara, jangan turun tangang akan tetapi cepat memberitahu agar pinto sendiri yang dapat membereskan!”

Di dalam kata-kata ini biarpun terkandung nasihat supaya anak murid Kim-san-pai bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Jelas bahwa tosu tua ini mengalah, akan tetapi bukan takut.

Tiba-tiba diantara pakaian para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika ia memandang, ia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di bagian belakang para hadirin.

“Eh, siapakah Nona yang berada di sana?” tegurnya.

Siauw Seng Cu cepat berkata,
“Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberitahukan akan kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun Su.”

Berseri wajah tosu tua itu dan tangannya memberi isarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata,

“Jangan berkecil hati bahwa pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini.”






Ang I Niocu menghampiri Ketua Kim-san-pai dan memberi hormat.
“Locianpwe, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk bertemu dengan Locianpwe.”

“Aha, jadi Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti Kim-san-pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couwmu itu?”

“Maaf, Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberitahukan nama kecilku yang sudah kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali mendengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka menghentikan segala permusuhan antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta supaya aku menyampaikan bahwa pada waktu ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena kekacauan timbul di mana-mana. Oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga dan memperkuat persatuan, menghilangkan segala macam salah paham di antara kita. Demikianiah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai.”

Thian Beng Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.
“Ang I Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang kau derita. Pinto hanya mengharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan tidak menjadi putus harapan, karena kau yang sudah dipilih Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan Bu Pun Su yang kau kemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kau kira pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto tidak menjaga keutuhan perhubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto bahkan dihadang di jalan dan dua orang suteku dilukai. Nona biarpun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto menyerahkan urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biarlah sekarang kau yang mencoba untuk membereskan.”

Thian Beng Cu memang cerdik. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang sutenya itu dirobohkan oleh seorang anak murid Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak hati-hati, bisa jadi Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.

Dan kalau ini terjadi, benar-benar amat berbahaya dan akan makin membahayakan kedudukan Kim-san-pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su, biarlah ia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.

Ang I Niocu menyanggupi dan malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu Kim-san-pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu menyuruh seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang sutenya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu. Sutenya ini jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun, akan tetapi kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling tinggi tingkatnya di Kim-san-pai.

Memang Eng Yang Cu yang paling disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling banyak. Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-san-pai, akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah tinggal di puncak gunung.

Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian. Thian Beng Cu, memanggil sutenya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian gagal dan pecah pertempuran antara kedua pihak, hanya sutenya inilah yang boleh ia andalkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga setelah mendengar keterangan kedua pihak, mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang bahwa ternyata pihak Kim-san-pai amat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.

“Mudah-mudahan saja pihak Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding,” pikirnya.

Akan tetapi, sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-lari masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu Kim-san-pai.

Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,
“Locianpwe, biarkan aku menghadapi mereka!”

Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang keterlaluan!

Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian benar saja, ia melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dati tujuh orang hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Melihat sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap tenang dan gagah.

Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini adalah rombongan orang-orang Bu tong-pai yang pernah membantunya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!

Adapun pemuda itu serta rombongannya ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, segera mengenalnya dan pemuda itu melompat cepat menghampirinya.

“Kau disini, Nona…” tegurnya dengan wajah berseri.

Akan tetapi Ang I Niocu memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan tetapi halus,

“Cu-wi Suhu sekalian ini bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?”

Seorang diantara tujuh orang hwesio itu, yang tertua, menjawab,
“Betul, Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng adalah anak-anak murid Bu-tong-pai. Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?”

“Aku Ang I Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang terpenting sekarang ini, kalian datang ke Kim-san mempunyai keperluan apakah?”

Hwesio itu nampaknya tidak senang.
“Ang I Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan kami di Kim-san ini pun kiranya tidak ada sangkut-pautnya denganmu!”

Ang I Niocu tersenyum dan kalau tadinya diantara para hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.

“Hwesio-hwesio dari Bu-tong-pai ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai menghadap Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-san-pai yang datang ke Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang.”

Ang I Niocu mempergunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu.

“Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka. Sekarang, kalian datang kesini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang jagoan. Mau apakah?”






Tidak ada komentar :