*

*

Ads

Rabu, 10 April 2019

Ang I Niocu Jilid 092

Pemuda itu menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,

“Maaf, maaf… harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalah-pahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-tong-pai juga dengan maksud mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong dan Kim-san-pai.”

Tiba-tiba pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.

“Eh. Nona… kau… mengapa kau marah kepadaku?” tanyanya gagap.

Memang, Ang I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang pedang menggigil dan kalau ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu ia sudah sejak tadi menyerang pemuda di depannya ini.

Jadi inilah pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara, menjadi biang keladi sehingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.

“Kau…?”

Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.

Pemuda itu memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa ia sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh susiok-couwnya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari susiok-couwnya. Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi,

“Kau bilang hendak mendamaikan, mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tong-san? Mengapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”

Menghadapi tuduhan Ang I Niocu, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum kepada Kiang Liat sehingga pendekar itu memungut pemuda ini sebagai mantunya!

Setelah Liem Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan lni melalui Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia singgah dulu di kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan ia tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri terlalu lama.

Alangkah sedihnya ketika ia mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa ia menunda perjalanannya. Tugas yang ia terima dari susioknya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat ayahnya.

Ketika ia pergi, yang merawat ayahnya Tang Siok Lan, gadis tetangga yang semenjak kecil sudah dikenalnya. Gadis ini manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-kan-mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu “ada hati” kepadanya.

Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak. Sebaliknya, Sun Hauw juga amat suka kepadanya, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.

Setelah Sun Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang menggantikannya merawat ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.






Akhirnya ayahnya sembuh dan Sun Hauw teringat kembali akan tugasnya. Diceritakannya semua pengalamannya kepada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.

“Berangkatlah, Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu memenuhi perintah susiokmu itu. Akan tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu.”

Sun Hauw kaget.
“Pernikahan…!”

Ayahnya mengangguk.
“Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Pula, bukankah ia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu.”

Sun Hauw menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi, mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu.

Tak dapat disangkalnya bahwa Siok Lan adalah seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga! Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar yang berilmu tinggi itu. Apalagi menurui penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Kiang Liat. Padahal ilmu kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali!

Sun Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan bagaimana wataknya.

Akan tetapi, Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan berduka, maka ia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-tong-san.

Ketika tiba di kaki Pegunungan Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-tong-pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja ia dapat menduga bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat. Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan.

Alangkah girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah anak-anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan tugas meronda. Ternyata bahwa Bu-tong-pai juga tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat.

Atas perintah Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat. Min-san termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, maka di tempat ini pun terdapat anak-anak murid Bu-tong-pai, yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan Sun Hauw inilah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan penyelidikan.

“Kebetulan sekali,” kata Sun Hauw. “Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai.” Dengan singkat ia lalu menuturkan tentang tugasnya.

Tentu saja rombongan Bu-tong-pai itu merasa girang, akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar kabar tentang datangnya sepasukan pemberontak, yakni anak buah pasukan pemberontak Lie di propinsi Shensi.

“Kami harus menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka,” kata seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.

Karena Sun Hauw juga termasuk orang yang anti pemberontak, ia lalu menyatakan kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka mendaki puncak Min-san dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu dikeroyok oleh pasukan pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan meninggalkan Sun Hauw yang amat tertarik oleh kecantikannya.

Memang Sun Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan apabila ia terpesona dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu. Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang memberdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai sekali.

Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, wataknya… mengapa demikian galak?

Dengan rombongan Bu-tong-pai, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh para hwesio penyambut, tiba-tiba seorang hwesio berlari-lari dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-san-pai datang menyerbu!

Sementara itu, Sun Hauw di sepanjang jalan telah mendengar dari anak-anak murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan biarpun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-san-pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-tong-pai!

Hal ini memang sudah wajar. Setiap kali ada dua pihak bermusuhan, tentu masing-masing pihak tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu setiap seribu!

Sun Hauw tidak mau berlaku ceroboh. Biarpun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-san-pai dari para anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat dulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-san-pai.

Kalau dua pihak yang bermusuhan dan di dalam hati telah mengandung dendam dan benci saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik dan suasana menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi.

Para hwesio Bu-tong-pai ketika melihat tujuh orang tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil mempergunakan ilmu lari cepat, sudah menduga salah dan menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat!

Kini kedua rombongan itu sudah saling berhadapan.
“Tosu-tosu sombong kalian berani naik ke sini mau apakah?” tegur seorang hwesio Bu-tong-pai.

Semua hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia memandang kepada para tosu itu dengan penuh curiga.

Para tosu Kim-san-pai melihat sikap bermusuh dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai itu pun merasa tersinggung dan tak senang. Apalagi kalau mereka lihat bahwa hwesio-hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah hwesio-hwesio tingkat tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja.

Yang datang adalah dua orang sute dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio tingkat rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.

Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, dua orang sute Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,

“Sobat-sobat gundul ketahuilah bahwa kami datang untuk bertemu dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng Hosiang atau kalian menyingkir agar kami dapat naik sendiri ke kuil Bu-tong-pai!”






Tidak ada komentar :