*

*

Ads

Rabu, 10 April 2019

Ang I Niocu Jilid 093

“Tosu sombong! Macam kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas beritahu kepada kami, kalau tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!” kata seorang hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.

Suasana menjadi makin panas ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah hwesio-hwesio tingkat rendah yang paling merasa “dendam” kepada pihak Kim-san-pai maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang.

Para tosu Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangannya sambil membentak,

“Hwesio-hwesio tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?”

Seorang hwesio bermuka hitam melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,

“Tosu bau! Masa untuk menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?” Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok Cu.

“Keparat gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi.”

Tak dapat dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih tua dan lebih sabar daripada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan berkata,

“Sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik melaporkan kepada Lo Beng Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini.”

Akan tetapi suasana yang sudah panas itu mana bisa dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara? Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni suheng dari Twi Kang Hwesio, yang bernama Lu Pek Hwesio, melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,

“Tosu, kalau kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!”

Terdengar suara seorang hwesio dari belakang,
“‘Ha, satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha, ha. Tosu pengecut!”

Memang Thian Hok Cu mempunyai muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya.

Thian Lok Cu berkata kepada suhengnya,
“Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-san-pai. Mari kita layani tantangan pibu mereka.”

Didesak seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Ia memandang kepada rombongan hwesio dan berkata,

“Biarlah kami berdua layani tantangan pibu kalian. Akan tetapi kalau kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo Beng Hosiang!”

Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu dan berkata,

“Menang kalah masih belum tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian bisa menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalang? Siaplah dan lihat senjata!”






Sambil berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio.

Berbeda dengan sutenya yang main toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang dan pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar nyaring menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu.

Liem Sun Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu! Kalau ia turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya.

Suasana sudah terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Kalau ia datang memisah, belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk tentang Kim-san-pai, dan sekarang ia lihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir.

Tak lama kemudian ternyata bahwa kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Hampir bersamaan waktunya, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai itu.

Para hwesio Bu-tong-pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih dari lima puluh orang hwesio ini agaknya hendak menyerbu, mengeroyok tujuh orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun Hauw cepat melompat ke tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu.

“Ji-wi totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak,” katanya nyaring.

Para hwesio yang melihat pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Adapun Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, setelah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang bahkan harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanjikan bahwa karena mereka menang, mereka akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosian?

“Kau ini siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?” Thian Lok Cu membentak marah.

Liem Sun Hauw tersenyum.
“Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte anggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat daripada berkeras kepala.”

“Kami sudah menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!” kata pula Thian Lok Cu. Sun Hauw mengerutkan kening.

Sikap yang diperlihatkan oleh tosu ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan yakni sikap tidak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir.

Kalau sampai terjadi pertempuran keroyokan, kiranya tujuh orang tosu ini akan berbahaya sekali keselamatan jiwa mereka, daripada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun tangan dulu mengusir mereka turun gunung.

“Totiang, kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin sekali mencoba-coba!”

Sambil berkata demikian, Sun Hauw mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Thian Lok Cu mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya bergerak dan ia sudah mulai menyerang sambil berseru,

“Bocah lancang, lihat pedang!”

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pemuda itu menangkis, Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar. Kemudian ia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!

Akan tetapi ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-mo-sam-bu (Payung Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok cu.

Jurus ini sebetulnya bukan ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang disamping memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga memiliki ilmu sliat lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut.

Dengan pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampaknya seperti orang memakai payung, Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan pedang di tangan.

“Anak muda, pinto lihat ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, kau agaknya masih menjadi anak murid Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu mengajarmu untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang lain?”

Mendengar ini, Liem Sun Hauw kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan agaknya kenal pula kepada Ketua Go-bi-pai, susioknya Twi Mo Siansu. Cepat ia menjura memberi hormat dan berkata,

“Totiang, harap maafkan. Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk mendamaikan urusan antara Bu-tong-pn dan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang sekali Totiang dan kawan-kawan Totiang datang mengacaukan keadaan dan memperbesar permusuhan. Oleh karena itu, siauwte harap Totiang sudi pulang saja ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte akan datang minta rnaaf kepada Ketua Kim-san-pai.”

“Bocah sombong, kau kira pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai suteku! Kalau kau mau menjadi jago undangan Bu-tong-pai, mari kita coba-cobal”

Sambil berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja tidak mau mengalah karena keadaan sudah seperti itu. Sutenya terluka dan kalau ia mengundurkan diri begitu saja, sikapnya ini bersifat pengecut sekali.

Sun Hauw menarik napas panjang dan terpaksa melayani. Sebetulnya ia tidak suka berkelahi dengan tosu-tosu Kim-san-pai dan kalaupun bertempur, ia tidak suka melukai mereka. Akan tetapi, kepandaian tosu ini sudah tinggi dan sukarlah baginya mencapai kemenangan tanpa melukainya. Ia hanya menang sedikit, menang dalam hal ilmu pedang, maka seperti juga tadi, terpaksa ia membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah lihainya.

Pertempuran kedua ini lebih hebat daripada tadi, kedua pihak nampak berimbang dan sama kuatnya. Para hwesio Bu-tong-pai dan para tosu Kim-san-pai menonton pertempuran itu sambil menahan napas. Tentu saja di dalam hati, masing-masing pihak menjagoi jago sendiri.

Di pihak Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang terpandai, demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu merupakan jago terlihai.

Oleh karena itu, pertempuran ini merupakan pertempuran terakhir yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai kalah, berarti tidak ada yang akan berani maju lagi dan mereka harus turun gunung. Sebaliknya, andaikata pemuda itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan lari naik dan melaporkan hal ini kepada guru besar mereka.

Akan tetapi, akhirnya ternyata pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah mewarisi ilmu silat yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, siapa sudah pernah menerima latihan oleh kakek sakti Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus mengakui keunggulan Sun Hauw dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada paha dan pukulan tangan kiri pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya dengan cara ini karena kalau tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh pedang Thian Hok Cu yang lihai.






Tidak ada komentar :