*

*

Ads

Senin, 08 April 2019

Ang I Niocu Jilid 089

Benar saja, setelah ia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi korban kalau berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, mulai mendesak dengan serangan-serangan maut.

Barulah sekarang Ang I Niocu terdesak, karena ia harus menjaga diri betul-betul terhadap desakan dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu. Betapapun juga, ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bilamana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.

Namun, pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu telah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir!

Menghadapi pasukan yang semua tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia pun tidak kenal artinya takut atau mundur.

Bagaikan seekor naga betina ia mengamuk dan pedangnya berkelebat-kelebat tubuhnya menyambar ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat. Biarpun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia dapat menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis betul-betul!

“Kaum pemberontak hina-dina sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda gagah perkasa, yang diiringkan oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat.

Sikap mereka gagah sekali dan atas isyarat pemuda gagah itu mereka menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan bahwa mereka datang dari satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.

Ang I Niocu seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya saja.

Biarpun dengan datangnya pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol sekali.

Gadis ini memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Biarpun berada di dalam bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apalagi pertolongan serombongan orang laki-laki yang tak pernah dikenalnya.

Seorang diantara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan kecewa,

“Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!”

Naik darah Ang I Niocu mendengar makian ini. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan tidak menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri. Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit bibir dan melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan hampir putus!

Koai-tung Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak ada kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang.

Ketika ia melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur, ia berseru kepada pemuda itu,

“Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!”

Pemuda itu tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman. Agaknya baru sekarang ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan ini membuat ia tercengang.

Melihat ini, Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku seperti itu apabila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali, disamping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila kepadanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.






Adapun Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya terdesak dan jatuh banyak korban, lalu memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.

Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar, demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar.

Semua orang itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini, akan tetapi terutama sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu.

Melihat ini, Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!

Melihat ini, pemuda tampan dan gagah tadi lalu melompat dan mengejarnya sambil berseru,

“Li-hiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!”

Akan tetapi Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata,
“Aku tidak ada urusan dengan kau!” Dan ia berlari terus, kini makin cepat.

Pemuda itu penasaran mengerahkan gin-kangnya. Sekali melompat ia telah maju dua puluh kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan lebih jauh daripada lompatannya.

“Nona yang baik, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!” serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.

Pemuda itu masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi sia-sia, gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di balik gunung!

Terpaksa Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi. Ia berhenti dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar.

Dengan ujung lengan bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan malam sudah diambang pintu.

Baru sekarang, disamping kelelahan yang sangat, Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati.

Celaka sekali, dengan kehilangan Pek-hong-ma, ia kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua berada di atas punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang. Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ia ikut ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian.

Sekarang, seorang diri dan lelah serta lapar setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali. Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki.

Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Ketika ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, alangkah jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Tiba-tiba ia bangkit berdiri,
“Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini…” pikirnya.

Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.

Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!

“Ang I Niocu…! Dia sudah datang… Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia…”

Kemudian baru Ang I Niocu tahu bahwa diantara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka ini yang sudah mengabarkan tentang pembasmiannya terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.

“Li-hiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Li-hiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirim Li-hiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.”

Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.

Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa “menghilang” itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung seringkali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu.

Adapun Ang I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tidak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang menganggapnya seperti dewi itu, karena ia maklum bahwa kalau ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk.

Tentu orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia akan menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan perkerjaan di puncak bukit tadi, mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau mencari nama.

Disambut secara demikian oleh kepala kampung dan penduduknya, bukan menjadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi mendongkol dan pergi tanpa pamit.

Malam hari itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di Pegunungan Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw dan sekaligus nama Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul di dunia kang-ouw.

Dengan melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-san. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah kiri. Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini.

Baru saja ia tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang diantara mereka memondong tubuh dua orang tosu tua yang wajahnya pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah.

Melihat Ang I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong tosu-tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu.

Ang I Niocu yang melihat cara lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,

“Mohon, tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke sana?”

Mendengar pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, tiga orang tosu tadi berkurang kecurigaannya. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang-lebih empat puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,

“Tidak salah dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga memang betul sedang menuju ke sana karena pinto bertiga adalah tosu-tosu dari Kim-san-pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?”




Tidak ada komentar :