*

*

Ads

Selasa, 18 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 031

Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid dari Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak ia meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggauta Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya kelak, maka timbul didalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.

Ketika masih kecil, Ong Kiat ini adalah kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga dan di antara kedua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok.

Akan tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka. Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika ia menikah dengan Bun Liok Si, dan diam-diam ia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya. Kemudian Ong Kiat yang semenjak kecil juga belajar ilmu silat, menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu, mereka tak pernah saling bertemu lagi.

Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali.

Ketika itu, seperti biasa, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap (pendekar wanita). Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk merantau dan mempergunakan kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih).

Ia sering kali berpakaian putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias dengan setangkai bunga cilan.

Loan Eng seorang diri menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali.

Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya, dan biarpun ia sudah seringkali menghadapi orang-orang jahat dan bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.

Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini. Banyak dusun-dusun telah kosong, ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja.

Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Ia ingin sekali mendatangi sarang gerombolan itu dan ingin membasmi gerombolan itu sampai bersih!

Loan Eng tidak tahu bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintainya dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah ketika mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.

Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan berlompatan keluarlah anggauta-anggauta gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar.

Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).

“Nona yang elok dan gagah siapakah bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, adapun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.






“Tak perlu namaku diketahui oleh gerombolan-gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Kalau betul, berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”

Semua orang tertegun, karena tak mereka sangka seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.

“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu katanya dengan mulut menyeringai. “Nona manis, walaupun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku takkan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”

Bernyala sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus. Sekali ia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.

“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, kalau tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!”

Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!

Sin Houw melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, tidak berani memandang ringan. Ia maklum dari gerakan ini bahwa pendekar wanita di depannya itu memiliki kepandaian tinggi, apalagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang. Cepat dia menangkis dan mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang orang terpental dan terlepas.

Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan kepala rampok muda ini yang merasa telapak tangannya sakit! Ia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak.

Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng dengan gerak tipu Hong-sauw-pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.

Diam-diam Loan Eng harus akui bahwa kepala raampok muda ini tidak jelek kepandaiannya, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali.

Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Namun ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng dan dalam beberapa jurus saja Sin Houw terdesak hebat.

Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda dan sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.

Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya dan tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.

“Mundur…..!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh. “Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.

Mereka lalu berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!

Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Ia memandang bangunan di depannya yang kini nampak sunyi. Tak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun? Ia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan mempergunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan berpekarangan belakang luas sekali ini.

“Hm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.

Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan banyak sekali menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja ia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biarpun ia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, ia tidak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil mengeluakan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!

“Syuuuuuut-syuuuut! Syuuut!” banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri.

Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini, akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali dan setelah tadi merobohkan pintu, ia melompat kesamping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.

Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Ia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorangpun manusia.

Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan,

“Tangkap penjahat! Padamkan api….!”

Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi ia tidak tertarik dan ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu.

Tiba-tiba terdengar isak tangis dan ia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.

“Siapakah dia? Mengapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku harus menolong dia.”

Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu. Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu sehingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya.

Seperti juga tadi, Loan Eng tidak menerjang masuk, bahkan mundur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam. Ia tidak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini telah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.

Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok lalu menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya.

Akan tetapi anehnya, toya itu tidak terpegang oleh siapapun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas. Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sendiri. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apabila ada orang memasuki kamar dan terkena injak alat penggeraknya.

Namun ia tidak takut dan melangkah terus! Baru dua tindak ia melangkah, agaknya ia kena injak alat-alat penggerak lagi yang di pasang di bawah permadani, karena tiba-tiba terengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan!

Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk kearah perutnya, dan senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!






Tidak ada komentar :