Seorang anak laki-taki sebaya Cin Hai ikut pula menyambut. Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik.
Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.
Tetapi Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.
“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.
“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” kata Ang I Niocu lagi.
Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.
“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”
Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang. Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,
“Ah, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”
Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,
“Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”
Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.
Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap tersenyum ketika berkata,
“Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”
“Ah, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”
Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!
“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.
Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,
“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”
Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”
Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah.
“Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”
Ang I Niocu memandang heran.
“Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”
Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina.
“Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-lam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?”
Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,
“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru hendak minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku.”
Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali,
“Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”
Ia sendiri menenggak habis secawan arak lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,
“He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuk rumahku?”
Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata,
“Sobat, mari minum arakmu!”
Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!
“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?”
Kang Bok Sian berkata dengan suara keras, lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.
“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan berseru,
“Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”
Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga khikang ini terjadi dengan diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!
Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.
“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu, karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga khikang yang hebat menarik itu!
Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.
“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”
Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!
Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata,
“Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”
Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakannya Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.
Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan.
Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!
Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.
Ang I Niocu menghela napas.
“Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!”
Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
“Niocu, tunggu sebentar!”
Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.
“Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.
“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.
“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai dimana kelihaianmu, maka hendak mencoba,” kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.
“Tidak apa, Kang-twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?”
Kang Ek Sian menghela napas.
“Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani… jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena… orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”
Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan.
“Ah, Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono.”
“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”
Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.
“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”
“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang… lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.
“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?” Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh. “Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”
Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.
Tetapi Ang I Niocu dengan senyum manis di bibir segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.
“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.
“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” kata Ang I Niocu lagi.
Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang kiri. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan ketika ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.
“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”
Ang I Niocu yang tadi hanya tunduk saja kini mengangkat muka memandang. Matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,
“Ah, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”
Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia berkata,
“Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tidak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”
Melihat sikap orang yang biarpun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.
Tetapi Ang I Niocu biarpun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, tetap tersenyum ketika berkata,
“Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”
“Ah, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”
Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang sangat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!
“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu lalu mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.
Tetapi ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,
“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”
Tetapi Ang I Niocu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”
Tiba-tiba muka Kang Bok Sian berubah merah.
“Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”
Ang I Niocu memandang heran.
“Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”
Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina.
“Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kang-lam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Sucimu?”
Kini mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,
“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru hendak minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suciku.”
Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali,
“Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”
Ia sendiri menenggak habis secawan arak lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,
“He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau masuk rumahku?”
Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di depan Cin Hai tertawa perlahan dan mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata,
“Sobat, mari minum arakmu!”
Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi ia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!
“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tidak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?”
Kang Bok Sian berkata dengan suara keras, lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat daripada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.
“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir dan ia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang menempel di atas itu. Ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan berseru,
“Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”
Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga khikang ini terjadi dengan diam-diam tetapi tidak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!
Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.
“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu, karena sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga khikang yang hebat menarik itu!
Kini mendengar suara Ang I Niocu ia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.
“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku telah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”
Tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar dekat dan ia menggunakan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!
Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Angi I Niocu berkata,
“Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”
Tiba-tiba lengan tangannya yang dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakannya Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.
Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan ia meringis kesakitan.
Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah lengannya, sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!
Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.
Ang I Niocu menghela napas.
“Ini semua gara-gara Suciku yang terlalu gegabah. Memang telah seringkali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci!”
Gadis itu lalu mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada saat mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
“Niocu, tunggu sebentar!”
Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.
“Ah, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.
“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.
“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Ia tidak tahu sampai dimana kelihaianmu, maka hendak mencoba,” kata Kang Ek Sian dengan suara halus dan Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.
“Tidak apa, Kang-twako. Sebenarnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, karena aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya mengapakah kau sampai bentrok dengan dia?”
Kang Ek Sian menghela napas.
“Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, sucimu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani… jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena… orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”
Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan kasihan.
“Ah, Suciku memang terlalu angkuh dan sembrono.”
“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”
Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-geleng kepala.
“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”
“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang… lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.
“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?” Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh. “Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar