*

*

Ads

Rabu, 17 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 015

Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu ia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari!

Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai.

Biarpun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sianli-kun-hwat itu.

JUGA karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai lama.

Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”

Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya ilmu Silat Sianli-kun-hwat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!

Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!

“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su-siok-couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!”

Terkejutlah Cin Hai mendengar ini.
“Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couwmu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”

Ang I Niocu mengangguk-angguk.
“Memang beliau adalah Susiok-couwku, karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-lam Sam-lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”

“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.

“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat Tiang-an ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk digunakan bilamana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kang-lam Sam-lojin bertemu di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagaimana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas, semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”






“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”

Ang I Niocu tersenyum.
“Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali kepada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”

“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.

“He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.

“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”

Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.

“Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih,
“Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau.”

Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan “Niocu” yang biarpun artinya “nona” namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih.

Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya “niocu” begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.

Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-lam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,

“Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku.”

Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!

Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun telah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.

Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
“Kau bukan seorang hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata,
“Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.

Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekati, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.

“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki, berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.

Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.

“Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan,
“Suci memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci…”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu takkan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata,
“Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab, Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian tidak tampak pula di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik dan gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut “taihiap” (tuan pendekar) kepada Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberitahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam.

Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.

Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar daripada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang laki-taki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang serta sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah.






Tidak ada komentar :