Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya.
Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata,
“Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!”
Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis.
Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali.
Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan, kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan!
Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!
“Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
“Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat,
“Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya.
Gadis itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi kemana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi dengan sabar dan telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat, biarpun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu!
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu mengalahkan Sianli-kun-hwat.”
Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.
Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.
Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-tik-khing sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio, Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.
Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.
Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”
Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata,
“Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!”
Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis.
Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali.
Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan, kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan!
Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!
“Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
“Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat,
“Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya.
Gadis itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi kemana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi dengan sabar dan telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat, biarpun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu!
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu mengalahkan Sianli-kun-hwat.”
Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.
Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.
Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apalagi nyanyian To-tik-khing sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio, Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.
Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.
Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar