*

*

Ads

Rabu, 17 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 013

Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua,
“Memang aku tolol dan bodoh, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”

Si Nona mengerutkan alisnya yang kecil memanjang.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”

“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang takkan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”

“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”

Cin Hai tertawa.
“Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”

“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”

Cin Hai cepat-cepat menggeleng kepalanya,
“Aku bukan pendeta, dan tentang pakaian…” ia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya satu yang terpaksa kupakai.”

Dara Baju Merah itu tertawa geli, sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.

“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”

“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kang-lam Sam-lojin.”

“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhumu?”

Cin Hai cepat menggeleng kepalanya,
“Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”

Nona itu meloncat dengan kaget.
“Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”

Cin Hai menghela napas.
“Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”

Gadis itu tersenyum pula.
“Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”

Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita tukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”

Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya.

“Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”

Sambil tersenyum gadis itu menjawab,
“Akulah Ang I Niocu.”

Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata,

“Mengapa? Takutkah juga kau kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”






“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.

“Kalau begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”

Cin Hai memandang kepada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,

“Barang-barangku?” Ia memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”

Pandangan mata Ang I Niocu mengandung iba.
“Jadi kau tidak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”

“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai meniru bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.

“Kalau begitu mari kita berangkat!”

Cin Hai mengangguk. Tetapi pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.

Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Tetapi Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah!

Tentu saja Kang-lam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.

“Hai, Tolol, kau hendak minggat kemana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.

“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”

“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan dimana?” tanya Giok Keng Cu si pendek dengan heran.

“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar dimana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?”

Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Tiba-tiba ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.

“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”

“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang tajam. Aku betul Ang I Niocu.”

Kalau dilihat sungguh mengherankan, karena tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini begitu mendengar nama Ang I Niocu lalu nyata sekali tampak terkejut dan mereka dari jauh mengangkat tangan memberi hormat.

“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu keperluan apakah yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”

Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Ia lalu bersyair sambil memandang ke langit.

Berkawan sebatang pedang, Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau masih bertanya maksud keperluan? Tanyalah kepada burung di puncak pohon, Terbang ke sini berkehendak apa?

“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”

Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,

“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”

Kang-lam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena betapapun juga, mereka telah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka.

Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan. Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang agak berwatak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.

“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu aturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”

Sungguhpun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, tetapi sebenarnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya telah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang berani dan dapat menyimpan perasaannya.

Kini mendengar betapa orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena biarpun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa ia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.

Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”

“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa kau tanpa minta ijin hendak menculiknya begitu saja? Bukankah itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.

Sebelum Ang I Niocu menjawab, Ci Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Eh, eh, sejak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”

Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya menyangka bahwa Cin Hai yang tadi membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.

Melihat keadaan sutenya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapapun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biarpun dia bukan murid kami, tetapi dia telah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”

Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena ia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sutenya, apa lagi memang ia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!

“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”

Kini Giok Im Cu yang menjawab setelah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.

“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Kalau kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga menerima dulu petunjuk-petunjuk darimu!”

Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau mengajak pibu (mengadu kepandaian).

“Begini lebih bagus, tak membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika ia mencabut pedang dari pinggangnya.






Tidak ada komentar :