*

*

Ads

Rabu, 17 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 012

Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai menjadi bingung sekali dan ia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu telah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan demikian, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!

Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.

Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat baik-baik dan malamnya ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!

Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.

Ketiga tosu melihat ketololan anak itu, diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol tetapi adalah karena waktunya banyak ia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.

Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari kawan-kawan untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam gua dan kalau ia keluar dari gua, yang ada hanya hutan belantara yang penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.

Pernah terjadi ketika ia pada beberapa bulan yang lalu pergi agak jauh dari gua dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali dan kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar.

Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada. Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada waktu itu Cin Hai telah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai.

Melihat datangnya terkaman harimau otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan-tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang hingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari situ, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!

Biarpun matanya tidak melihat, namun ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, ketika harimau itu lewat di sampingnya, ia memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!

Tetapi apakah arti pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!

Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa biarpun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san-kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Kalau ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.

Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lalu menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya!

Ilmu loncat ini adalah pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat digunakan untuk meloncat jauh sambil mempergunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran di bagian loncat tinggi saja yakni tipu gerakan Cian-tiong-seng-thian (Naga Naik ke Langit).

Demikianlah, setelah teringat akan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang mempunyai cabang rendah dan berada di atas kepalanya.






Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong-seng-thian yang sudah dipelajarinya itu! Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi.

Untung sekali ia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.

Anak itu dengan geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang ia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.

Untuk beberapa lamanya binatang itu mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis.

Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu! Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.

Cin Hai tidak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke gua. Semenjak pengalamannya itu, Cin Hai tahu akan kegunaan kepandaiannya maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan gua terlalu jauh.

Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut gua lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling. Selama berdiam di gua itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!

Ketika ia tengah asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Ia berdiri di depan gua, tak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak.

Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu, tetapi ia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing. Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.

Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dulu, yaitu, Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dengan mendengar gurunya itu bersuling, dapatlah Cin Hai meniru lagunya.

Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.

Dara muda itu kecewa dan berkata,
“Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.

Cin Hai merengut ketika disebut “hwesio cilik”. Ia menjawab tak senang.
“Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”

Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Ia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.

“Saudara kecil, kalau kau bukan seorang hwesio mengapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?”

Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya.

“Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan kau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”

Biarpun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, bahkan memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja ia sudah dewasa. Tetapi senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.

“Engko cilik, kalau aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”

“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget,
“Dari mana kau tahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman agar Cin Hai mengaku.

Cin Hai merasa heran dan menjawab,
“Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”

Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu.
“Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku menari untukmu.”

Cin Hai girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut gua yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang gua hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.

Cin Hai sambil menyuling memandang gadis itu dan ia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!

Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang putih dengan sinar merah dari bajunya!

Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, baru ia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.

“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.

“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan matanya yang lebar.

“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.

“Suka sekali, jauh lebih daripada sukamu kepada suara sulingku” kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.

Gadis itu tersenyum.
“Engko kecil, siapakah namamu?”

Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga,
“Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”

Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya memandang kepalanya yang gundul dan besar lalu ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, ia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,

“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”






Tidak ada komentar :