*

*

Ads

Sabtu, 20 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 017

Tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu.

Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikannya dan bahkan mengajak Cin Hai bicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus, tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang. Biarpun ia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun ia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini.

Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka. Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tidak selayaknya seorang laki-laki selemah itu. Maka sambil berjalan ia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku,
“Lima macam rupa indah membuat mata buta, Lima macam suara merdu membuat telinga tuli, tetapi seorang laki-laki sejati, Memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati, untuk menentang godaan lima anggauta tubuhnya!”

Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi ia tidak memperhatikan anak muda yang tampaknya begitu erat dan mesra perhubungannya dengan Ang I Niocu, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Sayang… sayang… !”

Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Sekali lagi Kang Ek Sian mendengar ini karena sebagai sasterawan, tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, ia merasa betapa mukanya panas seakan-akan mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insaflah ia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar ia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,
“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,

“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”

Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat hingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat agar jangan tertinggal di belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”






Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah lari dua puluh li lebih!

Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki gagah dan baik.”

“Kalau begitu…mengapa kau…sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

Wajah Ang I Niocu memerah.
“Ah, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!”

Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Sekarang telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku kepadamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”

Maka Ang I Niocu dengan singkat menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat. Semenjak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan ia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah.

Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya. Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula.

Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun daripada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik dan semenjak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi daripada kepandaian Kim Lian.

Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.

Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya! Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang!

Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri. Pada saat, itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang cukup hebat.

Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yaitu sedari ia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.

Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya hingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang mengapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta dalam hatiku telah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika mengingat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatangkara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu sungguh buruk. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa bernasib seburuk itu…” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.

Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu.
“Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk…”

Untuk beberapa lama keadaannya diam-diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata,
“Aih, aih… mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang-orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apalagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Wajah manis yang tadinya muram itu tiba-tiba bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ah, sungguh baik kalau hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana kau bisa mengenalnya?”

“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena ia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-san. Ketika empat tahun yang lalu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Ia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita bicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat itu sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas, karena gerakanmu masih kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Sudah beberapa lama Cin Hai menerima latihan Ngo-lian-hwa-kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini adalah pecahan dari Sianli Utauw dan digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki.

Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang rombongan orang lewat di jalan itu. Karena sedang asyik berlatih, baik Cin Hai maupun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka. Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam dan melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang daripada mereka tertawa bergelak,
“Eh, eh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,

“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”






Tidak ada komentar :