*

*

Ads

Sabtu, 20 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 018

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Ia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biarpun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya. Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tetapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu telah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengan yang dipentang lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

“Ah, Nona manis, mengapa hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup dan pelupuk mata gemetar sedikit hingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan marahnya.

Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah ia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.

Pada saat itu, delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu seorang diantara mereka yang masih muda berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.

“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”

Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barangkali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum.

Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” tiba-tiba terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu, tetapi yang bagi pendengaran Cin Hai mengandung sindiran yang dingin.

Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biarpun masih tetap halus dan merdu, terdengar dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.

“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” kesembilan orang itu berkata dengan suara riuh.

“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

“Apa syaratnya?”

“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

Tentu saja ke sembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.

“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.

“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.






Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang daripada marah, karena mana ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggauta Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

Akan tetapi pengawal muda itu tak dapat menahan marahnya lagi. Biar gila maupun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju dan mengayun tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,

“Bangsat kecil, mampuslah kau!”

Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apalagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata,

“Hei, bangsat besar, percuma kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tak terasa pula ia menggunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak ini.

“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!”

Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

“Anjing besar! Aku takkan menyebut kau Harimau Kepala Besi tetapi Anjing Hidung Panjang!”

Cin Hai mengejek lagi sambil mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa-kunhwat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya telah memiliki kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari.

Kemudian ia balas menyerang, tetapi karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang dia pelajari dari catatannya ketika masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

Biarpun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dari pertempuran, tetapi karena selama ini ia mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga.

Maka Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan lemah lembut bagaikan sedang menari ketika mengelit serangan-serangannya tadi, kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!

Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menyangka bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu sehingga ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kali!

Delapan orang pengawal lainnya melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai dapat menggulingkan lawannya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan ketika mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan membentak marah.

“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu,

“He, bangsat-bangsat besar. Kau tadi ingin melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!”

Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena benar-benar indah tarian Dara Baju Merah itu. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus berseru,

“Serbu!”

Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang-kabutlah delapan orang anggauta Sayap Garuda itu. Mereka telah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang tak boleh dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga dan kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sianli Kiam-hoat yang benar-benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya!

Dulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Tetapi sekarang, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggauta-anggauta Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!

Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggauta Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat dan selihai ini!

Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin rapat.

Setelah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, barulah Ang I Niocu menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan!

Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang pada lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biarpun mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita luka berat yang membahayakan keselamatan jiwa mereka!

“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang di sarungnya dan tersenyum manis.

Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak bertanya dengan suara parau,

“Lihiap ini siapakah…”

Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan sulingnya,

“Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ah, sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu,

“Berkawan sebatang pedang dan suling, Menjelajah ribuan li tanah dan air, Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati!”






Tidak ada komentar :