*

*

Ads

Sabtu, 20 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 019

Memang Cin Hai telah mengubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambah kata-kata “suling” di belakang “pedang”. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggauta Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu. Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai membentak,

“Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?”

Sementara itu, Ang I Niocu bertaka,
“Hai-ji mari kita pergi”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan seandainya kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya,
“Ah, siapa lagi kalau bukan dia!” Kawan-kawannya memandang heran dan ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”

“Tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”

Kawan-kawannya menganggap ucapan ini benar juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka masing-masing.

Sementara itu, Ang I Niocu mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu menjawab sambil tersenyum,

“Di puncak Pek-tiauw-san terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

Ang I Niocu tertawa kecil.
“Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”

Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh hingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa.

“Diantara akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan diantara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur daripada jin-som.

“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”

“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”

Ang I Niocu tertawa merdu.
“Kecil katamu? Anak tolol, telur itu besarnya melebihi kepalamu!”

Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.






Demikianlah sambil berlari cepat, mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.

Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Di kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah! Pohon sebesar ini mungkin sudah ada seribu tahun umurnya. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!

Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang penuh tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah.

Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Di puncak batu karang yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya.

Di seluruh daratan Tiongkok, hanya di puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apalagi tempat dimana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.

Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran, ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas.

Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali. Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, karena setelah melewati rimba terakhir, jalan menjadi demikian sukar, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dan bermuka tajam hingga dapat menembus sepatu!

Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap gesit dan ringan hingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondongnya dan membawanya melompat ke seberang jurang!

Betapapun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka tiba di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

“Aku tidak melihat sarang burung di puncak batu karang itu!” kata Cin Hai sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Apa kau kira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara batu-batu karang yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang!”

Cin Hai menghela napas. Telah payah dan penat-penat seluruh tubuhnya, dan agaknya ia takkan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali.

Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.
“Biarlah kita beristirahat dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati.

Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!
“Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” kata Ang I Niocu perlahan seakan menjawab pertanyaan yang ditujukan oleh Cin Hai dengan matanya. “Ia sedang marah, entah mengapa?”

Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang. Walaupun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apalagi burungnya. Tentu besar dan liar!

Makin dekat, makin keras pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi dan angin bertiup dari arah itu!

Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju dan mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah ia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar dan menerjang seorang kakek di depannya!

Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi daripada bulu merak yang masih baru!

Pada saat itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja dan paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh kedua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati!

Tetapi kakek itu tidak jerih, bahkan terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia pun mengembangkan sepasang lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk main cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tidak lebih buruk daripada kaki burung rajawali putih!

“Ha, ha, ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu dan tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah ia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

PADA saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su!

Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur dan batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu hingga dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

Tetapi Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Ia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu ia berdiri di tempat yang sempit sekali. Di depan kakinya terbuka jurang yang curam sekali, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar.

Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!

Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan wajah pucat!

“Eh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

“Anak tolol! Bukankah dia itu Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia lalu ikut berlari turun dari puncak itu, sedangkan hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

Mereka berdua sambil bergandeng tangan berlari-lari dengan cepat bagaikan dikejar setan. Tetapi karena Cin Hai telah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang hingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya telah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, tiba-tiba mereka mendengar pukulan sayap burung di atas.

Ketika mereka memandang ke atas, wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!

Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yaitu burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu, tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya.






Tidak ada komentar :