*

*

Ads

Sabtu, 20 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 020

Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Kini Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan membekuk lehernya ke bawah hingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut,
“Susiok-couw!”

Juga Cin Hai tak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

“Hm, hm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

“Benar, Susiok-couw, harap maafkan jika teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.

“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”

Ang I Niocu tak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka ia menggelengkan kepala menyangkal.

Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya.
“Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

Terpaksa Cin Hai mengangguk karena ia memang tidak bisa membohong.
“Kiang Im Giok! Kau berani membohong terhadap Susiok-couwmu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.

“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebiasaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau beri pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak ia mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.

“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu telah pergi minggat entah kemana?”

Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, ia menjadi tak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu lupa dan pangling.

“Sekarang kau pergilah, Im Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-san. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau coba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-caouwnya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,

“Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biar dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat ia hanya berkata,

“Sampai bertemu kembali!”






Lalu gadis itu melompat jauh hingga sebentar saja ia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas dan sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatangkara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat!

Cin Hai tak dapat menahan sedihnya dan ia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Ia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!

Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.

Biasanya, ketika ia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua adalah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, maupun kadang-kadang memasak sendiri!

Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

“Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan Simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!”

Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu. Akhirnya dapat juga ia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Ia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka ia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya dan dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya ia telah sering berlatih khikang sehingga ia tidak sangat menderita kedinginan. Yang sangat ia derita ialah kenangan akan Ang I Niocu.

Biasanya kalau tidur di atas pohon berdua, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi. Bahkan dulu ketika khikangnya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantel dan diselimutkan kepadanya, dan ketika itu masih belum dapat mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang,

Dara Baju Merah itu lalu memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan, hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Ah, alangkah baik dan mulia hati gadis itu.

Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!

Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisiknya,

“Niocu… Niocu…” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.

Pada keesokan harinya, mulailah ia merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tidak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk isi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis!

Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis daripada seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.

Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai makin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali ia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, ia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu.

Tetapi sekarang, ia menjadi malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor, penuh debu! Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu!

Sungguh mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan berkepandaian tinggi itu!

Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Ia telah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh lagi tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram tetapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.

Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat ia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena menderita, maka kini ia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

Biarpun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan kalau perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari ia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar.

Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak ia beli dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dulu ia akan melakukan sesuatu untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda istimewa.

Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Orang-orangnya peramah dan perdagangan di situ kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur.

Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.

Ketika ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik oleh sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa rumah itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw.

Papan nama itu terbuat daripada sepotong papan dan tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tak terawat hingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring.

Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan mengapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula. Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, ia lalu mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Ia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali.

Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tidak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini ia merasakan kesenangan. Ah, bekerja!

Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, ia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera ia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira.

Ia melihat hasil daripada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, kini bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!






Tidak ada komentar :