*

*

Ads

Senin, 22 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 021

Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Ia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Di sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.

Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba ia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.

Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping sedang menyapu pelataran bukoannya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

“Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, ia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya,

“He, anak muda. Apakah kau mau bekerja disini?”

Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri.
“Suka sekali, suka sekali!”

Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.

“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya, dan dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.
“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerjalah disini, lalu melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”

“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

Pada saat itu dari luar terdengar orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun.

Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut “suhu” dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

Louw-kauwsu lalu memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah murid-murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat.

Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.

Pada seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!






Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biarpun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, secabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun tekebur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

“Eh, siapa namamu?”

“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.

“Eh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”

“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.

“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti!”

Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab,

“Baik, Siauwya.”

Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.

Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai segera menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun. Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena ia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.

“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dulu dan gantilah pakaianmu itu setelah kau bersihkan tubuhmu.”

Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya.

Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.

Entah mengapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan seringkali menghinanya. Pernah ia berdiri melihat latihan silat pada suatu senja, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.

“Lihatlah kalian baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), dua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”

Ia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.

“Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!”

Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai. Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekangnya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau ia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka ia lalu mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, ia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga ia roboh tanpa daya!

“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga, sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas.

Ia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga ia tidak berani menggerakkan leher itu.

Sementara itu, tanpa mempedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Cin Hai dalam keadaan menyedihkan itu harus menderita sampai dua jam lebih, barulah perlahan-lahan jalan darahnya terbuka dan darahnya mengalir kembali hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, ia pura-pura masih lemah dan sakit hingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

“Nah, nah, kalian lihat. Setelah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan-jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka ia roboh dengan lemas dan selamanya takkan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu kubebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tetapi hal ini akan kalian pelajari kelak kalau sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum dan dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, di dalam hatinya ia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati kepadaku, hm… akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, tidak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauh bedanya perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya. Cin Hai berdiri di pinggir sambil menonton gadis itu bersilat pedang.

Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.
“Ah, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tetapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

Cin Hai merasa heran.
“Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

“Ah, Ayah tak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Baiknya ada Ting-kawsu yang mengajarku di waktu malam. Sayang, sekarang tidak diperbolehkan lagi oleh Ayah!”

Gadis itu nampak kecewa sekali dan Cin Hai yang sudah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.
“Eh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan,
“Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”






Tidak ada komentar :