*

*

Ads

Senin, 22 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 022

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi mengapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!”

Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai. Cin Hai pura-pura ketakutan dan berkata,

“Baik, baik… Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar ia berlaku hati-hati untuk menyampaikan “surat rahasia” itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu ia tak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.

Pada waktu itu, ia telah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.

Louw Sun Bi telah melepas budi kepadanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Ia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!

Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali dan membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!

Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengan malam!

Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia tidak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara hingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio adalah keponakan Ting Sun sendiri!

Tetapi ternyata dua orang itu telah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.

Semalam penuh Cin Hai tidak dapat tidur dan pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.

Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda daripada biasanya, ia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi perhubungannya dengan Bin Nio.

Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!

Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.
“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”

“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”

Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.

“Katakanlah, jangan takut-takut!”

“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dulu saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena setelah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”






Kini terkejutlah Louw-kauwsu.
“Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi hingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”

Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan tentang surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih,

“Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya baik hati tertimpa kejadian macam ini, ah…”

Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.

Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat ia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan perhubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu ia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul diantara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.

Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,

“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tidak khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit daripada mengobatinya setelah datang! Karena itu, maka daripada ribut-ribut dan marah hingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”

Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Ia memandang wajah Cin Hai dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!

“Cin Hai, kau seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”

“Loya, Siocia telah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”

Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi ia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.

“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”

“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”

Louw Sun Bi memandangnya tajam.
“Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”

Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai.
“Loya, biarpun saya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.

Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan.

Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Ia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, ia berdiri diam bagaikan patung!

Di sana di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!

“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagipula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”

Ting Sun terkejut sekali dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepadanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!

“Orang she Ting, aku telah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu disini!”

Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon!

Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun menggertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tetapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!

Pada keesokan harinya, setelah semua anak murid berkumpul Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di situ dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit.

Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya bahwa sebagai seorang gadis ia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.

Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar telah berada disitu, semua murid yang berjumlah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting.

Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasa, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.

Akhirnya orang yang dinanti-nanti, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah dan dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian ia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya ia menghadapi semua murid dan berkata,

“Anak-anak sekalian, aku membawa berita penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini, kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”

“Hendak pergi kemana, Suhu?” tanya seorang murid.

“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali kesini. Tetapi kalian tak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan pada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”

Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan telah tiba. Ia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kebencian dan marah itu.

“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini sebagai contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”

Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.
“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.

Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.

“Jangan, Siauwya, jangan…!”

Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa totokannya dikelit.

“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya dan ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.






Tidak ada komentar :