*

*

Ads

Senin, 22 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 023

Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.

Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!

Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!

Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?

Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!

Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!

Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan.

Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?

Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.

Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!

Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!

Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!

“He, Siauwya, kau mengapakah?”

Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!

“Eh, eh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.

Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.

“Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi, tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya disini sampai bertahun-tahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”

Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!






Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu bertanya,

“He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”

Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura.
“Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”

Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kang-lam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.

Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.

Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.

Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil berkata,

“Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”

Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.

Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.

Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa

“Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!”

Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat dan mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus digunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.

Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita.

Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.

Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau “saudara” kita yang hidup menderita kesusahan.

Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.

Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat bagian dari Liong-san-kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya “Pendekar Bodoh” karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.

Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta dalam pelukannya.

Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak,

“Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”

Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara kedua jari tangan.

Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.

Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!

Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, ia menjadi marah sekali. Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.

Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!

Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.

Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.

Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!”

Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.

Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, maka ia mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.

Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!






Tidak ada komentar :