*

*

Ads

Minggu, 28 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 032

Kwee In Liang menghela napas.
“Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar benar sekali. Tetapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”

“Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah… apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa… bahwa aku telah… dipertunangkan…?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.

Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang hingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.

“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah ia mendesak lebih jauh.”

“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suciku bisa kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”

Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Ketika mereka tiba di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi. Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.

Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena ia seakan-akan merasa sudah kenal kepada pemuda ini sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian.

Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,

“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”

Kwee In Liang memandang tajam dan juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.

“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”

Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memberi hormat sambil menjura,

“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”

“Cin Hai… ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.

“Engko Hai…!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Eh, kau sekarang tidak gundul lagi!”

Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya hingga ia tertawa gembira, juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.

“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi kemana saja?” tanya Lin Lin.

“Aku… aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”






“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini sederhana sekali hingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka ia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,

“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia baik-baik saja?”

“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak tinggal di Tiang-an lagi, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kami telah menjadi orang-orang biasa dan hidup sebagai petani!”

Berita ini benar-benar tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thionya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang menegur puterinya.

“Lin Lin, tak perlu kita bicarakan hal itu disini. Cin Hai, kau sekarang hendak ke manakah?”

Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, maka Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri hingga ia menjawab,

“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku… aku akan melanjutkan perantauanku…”

“Eh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.

Karena tidak ada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana,

“Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”

“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau benar-benar telah melupakan Bibimu, melupakan kami? 0, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi kami akan mengadakan sedikit perayaan guna memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”

“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang hingga terpaksa orang tua ini berkata,

“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah jangan kita ganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”

Maka berpisahlah mereka, akan tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras,

“Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan… kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”

Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka kepadanya dan sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.

Akan tetapi, Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu. Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai.

Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi. Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apalagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?

Akan tetapi, ia harus melihat ie-ienya yang telah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena ia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, dan juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah ramah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!

Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu, agaknya sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Ia harus datang, dan akan melihat-lihat saja dulu, kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, ia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi kalau sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau ia terpaksa harus turun tangan!

Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali mengapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, ketika ia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah dipertunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!

Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin dan ia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi tidak berhasil!

Ia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun ia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari sucinya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.

Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu ia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Ia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari. Masih ada waktu baginya, maka dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya.

**** 032 ****





Tidak ada komentar :