*

*

Ads

Minggu, 28 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 031

Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran.
“Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”

Bu Pun Su tersenyum.
“Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhumu sendiri?”

Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?

“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu San. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”

Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilau dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu Liong Coan. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.

“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”

“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”

Bu Pun Su tersenyum.
“Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasihatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedanglah yang harus dipersalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau baik hanyalah terjadi karena akibat daripada perbuatan orang dan hanyalah merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka ia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!”

Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali,

“Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan gua ini, Cin Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir : Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Kalau terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa sendiri. Terhadap mereka ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”

Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.

Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya telah memberinya sekantung emas murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya.

Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya, yaitu Kwee-ciangkun, namun ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya.

Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka ia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.

Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika ia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang diantara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!






Biarpun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali mengapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!

Kwee In Liang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa ia adalah seorang tingkat tiga, hingga lagi-lagi Cin Hai merasa terheran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!

Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi lawan pamannya dan yang juga bertempur dengan hebat. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian sitat, gesit dan hebat, bahkan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.

Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda dan bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil ramping dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan. Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali!

Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang biarpun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Ia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman. Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barangkali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Kedua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buasnya. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!

Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, dapat mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya hingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk dan berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu.

Sekali saja ia menggentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya hingga perwira itu terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!

Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hwa (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya!

Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!

“Keparat she Boan, jangan kau ganggu anakku!”

Kwee-ciangkun membentak dan melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi, ia segera memburu.

Cin Hai yang mengintai di balik pohon ketika mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!

Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini setelah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dulu sangat jenaka dan nakal itu, timbut kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.

Untung ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Perwira baju merah itu ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, segera mendahului dengan serangan kakinya hingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.

“Ha, ha, ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!

Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka ia mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua cepat telah menyambar tepat ke arah pundak kirinya.

Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuh. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah tanpa dapat dikelit pula, benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!

Ia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan hingga terpaksa ia melepaskan tubuh Lin Lin.

Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa telah bebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kaki karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.

Perwira itu ketika melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang tumbuh di depannya itu merasa kaget sekali, dan ia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya.

Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari. Tetapi aneh, di situ tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!

“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi, tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”

Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan mengira bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,

“Boan-enghiong, mengapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”

“Tak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, “Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”

Setelah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,

“Baiknya ia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”

Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab,
“Ayah, kau tidak tahu. Kalau tidak ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”.

Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun telah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!

“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya ia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebetulnya ia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.

Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut dan segera ia berseru dengan suara keras,

“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”

Akan tetapi, biarpun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.

“Sudahlah, Ayah. Agaknya ia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan ia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa ia tak mempunyai maksud baik. Kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”






Tidak ada komentar :