*

*

Ads

Senin, 06 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 053

Kemudian Eng Yang Cu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Santung Ngohiap yang telah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai hingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.

“Kwee An, musuh-musuhmu telah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.”

“Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”

Eng Yang Cu terkejut.
“Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Biarpun ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat daripada suhengnya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”

Kemudian, setelah memberi nasihat dan pesanan kepada muridnya agar berlaku hati-hati dan agar supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto takkan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya.

Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhunya itu dan menghaturkan terima kasih dan selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.

“Suhumu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhunya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhunya itu masih berada di Gua Tengkorak?

“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata ia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”

Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab,
“Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar takkan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”

Mereka lalu menanti sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja di waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Santung Ngohiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, ia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita tentang tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”

Dengan mempergunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee An dengan mudah dapat melompati tembok kota di bagian yang tidak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan.

Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yaitu di dalam sebuah gedung besar yang kuno.

Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang telah berdiri di situ dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!

“Hm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatanganmu berdua!”






Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya dan Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”

“Kalian diam-diam memasuki kotaraja dan mencari rumah kediaman Ma-ciankun. Masih hendak bertanya mengapa aku menanti dengan pedang di tangan di sini? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu anaknya!”

Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya telah menyerang lagi kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.

Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah daripada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh hingga gerakannya seperti seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!

Juga Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu dan tak dapat mendesak!

“Sobat, kita datang bukan bermaksud buruk!”

Kwee An berkata sambil menahan serangan orang akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.

Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng,
“Hoa-ji, jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”

Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah keren.

“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku ada keperluan apakah?”

Kwee An membalas hormatnya dan berkata,
“Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebenarnya kami berdua tidak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena tidak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, kedua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”

Walah Ma Keng In memerah.
“Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata kepadaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Biarpun kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tidak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”

Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku hingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”

“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi mengapa kau sudi menjadi anggauta Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip adalah orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau telah melakukan sesuatu yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tiada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggauta Sayap Garuda, akan tetapi adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi daripada kami? Kalau kau menolak untuk memberitahukan tempat tinggal mereka, itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”

Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak dan ia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga mempunyai pemandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,

“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan kalau ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan kepadamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi kalau kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu dan Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”

Cin Hai menjura dan berkata,
“Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”

Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.

Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

“Eh, eh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak senang.

“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”

Kwee An merasa mendongkol dan penasaran.
“Mengapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”

Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata,
“Aku akan menunggu di sana!” Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.

“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan Ayahnya.” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.

“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali karena tadi ia benar-benar tidak dapat mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menentangnya apakah ia harus mundur? “Dan lagi kita hendak melewati Pai-san. Kalau kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan diterwakan oleh seorang kanak-kanak?”

Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!

Setelah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun tentang rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.






Tidak ada komentar :