*

*

Ads

Selasa, 25 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 170

“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena ia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Terima kasih paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”

Hok Peng tertawa bergelak-gelak.
“Mungkin sekali sebelum lima tahun aku akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.

Bu Pun Su menarik napas panjang.
“Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarlah pesanku terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai dan yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang mendapatkannya.”

Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.
“Masih ada lagi,” kata Bu Pun Su, “Kelak, apabila kalian memperoleh turunan, juga bagi Nona Ma Hoa kuanjurkan menurut nasihat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”

Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu telah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.

“Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau anggap Gurumu berkelekar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik digunduli rambutnya ketika masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut dan membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya hingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam gua ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hiolouw besar, kemudian kalian tinggalkan gua ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah gua ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”

Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.
“Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai karena aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”

Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam dimana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.

Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti hingga Bu Pun Su menjadi puas.

Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam gua dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhunya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia lalu menubruknya sambil menangis.

Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.

“Jangan menangis, jangan menangis” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata… aku tidak suka…!” Lin Lin lalu menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.

“Anak-anak… pesanku terakhir… setelah selesai pertandingan pibu di Hoa-san… pulanglah dan langsungkan perjodohan… hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan…!” ia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang ia pergunakan siang malam untuk memberi gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.

“Sekarang… antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur… selamat… tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.

Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa menahan tangis karena mereka hendak mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Kemudian mereka berenam mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu dan membakarnya di dalam gua dengan penuh khidmat. Setelah selesai dan mayat itu telah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.

Untuk beberapa hari lamanya mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan persembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lalu menutup Gua Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil, hingga gua itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.

Setelah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu tentang kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.

“Ah, dia lebih beruntung daripada aku. Sekarang ia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”

Oleh karena waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.

Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.

Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enak di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.

Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang sekali, dan ia segera menyatakan keinginannya untuk ikut ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambungnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu, karena ia berkata,

“Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”

Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena ia hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.

“Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoosan, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi.

Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri saja.

**** 170 ****





Tidak ada komentar :