*

*

Ads

Jumat, 28 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 171

Ternyata bahwa pihak Hai Kong siang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supeknya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu.

Wi Wi Toanio tidak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan bahwa ia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena merasa tak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini.

Sebenarnya Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia, akan tetapi mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai tokoh-tokoh tertinggi dari daerah selatan dan timur, tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.

Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, ketika dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu.

Kalau saja kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan murid-muridnya itu, akan tetapi ia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.

Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.

Melihat keadaan rombongan yang banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio,

“Wi Wi, mengapa begini banyak orang berada disini? Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?”

“Tidak, Supek. Mereka itu adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”

Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga disitu, maka ia berkata kepada Hai Kong Hosiang,

“Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”

Hai Kong Hosiang menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.

Pada saat itu dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng.

Dengan sikap tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin kawan-kawannya naik ke bukit dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut kedatangan mereka itu.

Ketika Hai Kong Hosiang dan yang lain-lain menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata,

“Kalau Bu Pun Su belum meninggalkan kita, kalian tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang juga telah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.

“Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat saja sungguhpun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin, sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa.






“Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan kita? Ah, sayang sekali…! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi… sungguh sayang.”

Hok Peng Taisu tertawa pula.
“Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguhpun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang cukup akan menggembirakan hatimu.”

Swi Kiat Siansu memandang tajam.
“Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”

Hok Peng Taisu menggeleng-geleng kepala.
“Apa kau kira aku demikian serakah untuk memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.”

Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri mereka.

“Inilah wakil Bu Pun Su, ia disebut Pendekar Bodoh!”

Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata,

“Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe.”

Pok Pok Sianjin bertubuh jangkung kurus, dan agak bongkok. Rambut dan kumisnya telah putih semua dan terurai ke bawah tidak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Ia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun dan melihat sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah ia bahwa pemuda ini adalah seorang yang “berisi”.

Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bundar seperti patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya merupakan sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan agaknya ia selalu merasa gerah karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya.

Kakek yang juga sudah tua sekali ini ketika mendengar bahwa julukan pemuda itu Pendekar Bodoh, segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.

“Bagus sekali,” kata Swi Kiat Siansu. “Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah pilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran kepada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”

Cin Hai menjawab dengan tenang.
“Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, terpaksa kami membela diri.”

Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu ia berkata kepada Hai Kong Hosiang,
“Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biarpun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau serta kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tidak ada hubungannya dengan pibu ini!”

Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio,
“Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini.”

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biarpun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan demikian, akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biarpun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jerih terhadap Cin Hai.

Sementara itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata,

“Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda untuk datang kesini hingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu disini, maka kita tak perlu merasa sungkan lagi karena aku dapat menduga isi hati kalian yang tentu tak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian datang karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?”

Swi Kiat Siansu tertawa.
“Benar, benar! Memang orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tidak dapat hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!”

“Locianpwe,” kata Cin Hai dengan masih menghormat, “mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena tidak dapat menerima penghormatan ini sendiri akan tetapi Suhu telah menitahkan teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!”

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Pendekar Bodoh,” kata Pok Pok Sianjin. “Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus sekali!”

“Locianpwe,” kata Cin Hai, “teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka orang tak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami bencana yang menimpa dirinya!”

“Itulah ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!” seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Eh, anak muda, kau benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tak pantas keluar dari mulut seorang semuda engkau! Tahukah kau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas menjadi cucuku? Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”

“Locianpwe, para bijak jaman dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tidak diukur dari tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tak dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia diantara kita? Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah terlalu tua akan membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon muda akhirnya pun akan menjadi tualah akhirnya! Lagi pula, Locianpwe hanya bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan agar bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!”

“Ha, ha, ha! Kau memang pandai sekali, Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng Taisu, tidak salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain dengan anak muda ini lebih dulu dan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau kemudian kita bertukar lawan!”

Hok Peng Taisu hanya mengangguk sambil tersenyum,
“Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, maka biarlah ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu saja.”

Pok Pok Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata,

“Pendekar Bodoh, kita masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur ini di kepala. Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur itu dari atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku kalah!”

Cin Hai diam-diam merasa terkejut oleh karena biarpun “main-main” ini nampaknya tidak berbahaya, namun karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala sendiri, karena kepala itu tidak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan tetapi, dengan tenang ia mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas kepalanya setelah menyingkap rambutnya hingga biji catur itu menyentuh kulit kepala.

“Teecu telah siap, Locianpwe!” katanya.

“Bagus, mari kita mulai!”






Tidak ada komentar :