*

*

Ads

Selasa, 25 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 169

Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhunya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang telah banyak dikerahkan membantu susiok-couwnya itu.

Kini ia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah ia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, ia lalu mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, lalu ia bertindak keluar.

Pada saat itu, sambil memekik keras, Wi Wi Toanio melompat ke atas dan kedua tangannya terulur ke depan dengan maksud merampas senjata kedua lawannya, akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan menyambutnya dengan serangan hebat!

Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagaikan seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!

Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu!

Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam di kedua tangan, ia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Lin Lin dengan Han-le-kiam-hwatnya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, sedangkan Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tak mudah dilawan!

Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biarpun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja ia merasa kewalahan dan sebentar saja ia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!

Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu, akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu runcingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh.

Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat. Wi Wi Toanio mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah!

Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok iganya, maka dengan bingung ia membanting diri ke belakang! Namun gerakannya biarpun sudah cepat sekali ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.

Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua,

“Jangan bunuh dia!”

Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jerih menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya! Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhunya, maka cepat-cepat ia lalu mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam gua.

Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, sedangkan Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram.

Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biarpun ia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih amat tajam sehingga ia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik maka ia lalu mengerahkan khikangnya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja ia maklum bahwa Wi Wi Toanio takkan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!

Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,

“Kalian lihat, betapapun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang kesini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”






Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan tentang pesanan suhunya, dan tadinya ia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut ia lalu berkata,

“Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”

Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dulu.

“Anak yang baik, tubuhku sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”

“Sebetulnya teecu diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”

“Hm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”

“Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”

Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah.
“Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya daripada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan berbisik,

“Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku takkan dapat bertahan selama itu…”

Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Eh, eh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhumu sebentar lagi terbebas daripada kesengsaraan, mengapa kau malah menangis? Kau seharusnya bersyukur dan bergembira!”

Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis. Bu Pun Su menarik napas panjang,

“Hm-hm… perempuan, perempuan… kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya…”

Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata kepada suhunya,
“Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”

“Nah, nah, sesudah menangis mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”

“Teecu mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”

Mendengar ini Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya, menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.

Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan.
“Aku tahu… semenjak mereka datang aku sudah tahu… Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju…” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!

Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhunya dan berbisik,
“Suhu terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”

Tiba-tiba masuk seorang laki-laki ke dalam Gua Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang ia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supeknya.

Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah telah bekerja dan ia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.

“Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”

Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tak berani bergerak karena jengahnya. Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar gua,

“Ada orang datang!”

Semua orang memandang karena mereka tidak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Benar saja, tak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.

Bu Pun Su juga tertawa girang.
“Hok Peng, apakah kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”

“Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”

Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu duduk di dekat Bu Pun Su dan mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu. Setelah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,

“Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”

Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam.
“Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung karena tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya teringat akan hal-hal yang telah lampau yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama sepekan saja!”

“Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.

“Sayang sekali Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebetulnya aku ingin sekali melihat kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan main-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”

Bu Pun Su tertawa,
“Apa dayaku? Aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”

Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su sebagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi dan terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya dan menangis sedih.

“Eh, eh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,

“Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapapun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Aku tak dapat datang sendiri, akan tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”

“Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.

“Jangan kuatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, setelah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu hingga tidak akan mengecewakan kelak apabila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”






Tidak ada komentar :