*

*

Ads

Selasa, 25 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 168

Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagi harta itu sambil melanjutkan perjalanan ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.

Ketika mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang telah dinikmatinya semenjak masih muda, maka ia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.

“Ma Hoa dan Kwee An, telah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir tiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kalian telah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskanlah perjalanan kalian dan ini sisa harta benda yang kubagi-bagikan boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak kalau tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”

Ma Hoa maklum bahwa suhunya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhunya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,

“Suhu, amat berat hatiku harus berpisah dari Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu agar teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak hingga air matanya keluar.
“Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apabila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”

Setelah banyak mendapat nasihat-nasihat dan petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.

Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhunya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, dimana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati.

Ketika mereka tiba di puncak, mereka tiba-tiba mendengar suara angin pukulan yang hebat dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi. Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya ketika melihat betapa suhunya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya.

Gerakan kakek botak itu demikian kuatnya hingga di sekitarnya semua daun-daun bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.

“Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!”

Ma Hoa memuji dan Hok Peng Taisu lalu menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.

“Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang kesini. Di mana Nelayan Cengeng?”

“Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.

Hok Peng Taisu menarik napas panjang.
“Nelayan Cengeng memang orang yang beruntung tidak seperti aku, tua-tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa pada bulan tiga aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!”

Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian ia lalu menceritakan tentang tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.






“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja ia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu ia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”

Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!

Ma Hoa dan Kwee An lalu turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai dimana letak Gua Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju kesana.

Ketika mereka tiba di depan Gua Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong seperti orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.

Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya,

“Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan dimana pula Suhumu?”

Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata,
“Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”

Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar hal ini. Segera Ma Hoa bertanya,

“Suhumu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba disini?”

Kemudian, dengan suara perlahan agar jangan sampai suara mereka terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring di dalam gua tak sadarkan diri, di jaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.

Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan usia tua dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat dan penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan.

Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.

Semenjak masuk Gua Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhunya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak dari dekat suhunya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau dipaksa-paksa oleh Lin Lin.

Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.

“Apakah selama ini Suhumu tidak siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.

“Pernah satu kali, dan setelah siuman ia hanya mengucapkan tiga perkataan, yaitu bahwa ia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.

Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Gua Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati. Cin Hai duduk di sebelah kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersamadhi mengerahkan tenaga lweekangnya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhunya, sedangkan Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biarpun ilmu lweekangnya belum setinggi Cin Hai, namun kadang-kadang ia menggantikan Cin Hai untuk memegang tangan kiri kakek itu dan membantunya dengan tenaga lweekangnya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.

Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhunya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.

Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruang tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seolah-olah sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.

Setelah tiba di luar gua, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.

“An-ko, harap kau suka pergi dengan cepat kepada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe.”

Lin Lin menyatakan kegirangannya mendengar ini, maka ia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar gua, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada saat Bu Pun Su menderita sakit keras. Kemudian ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.

Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan gua dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio.

Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhunya akan dapat memenuhi tantangan itu?

Ketika mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua telah berdiri di hadapan mereka. Dengan terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!

Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini telah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhunya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,

“Mau apa kau datang kesini?”

Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya,
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”

“Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam gua ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”

“Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.

Ma Hoa juga mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata,
“Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”

Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras ia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu.

Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan. Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biarpun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.

Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Ginkangnya ternyata sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah ia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.






Tidak ada komentar :