*

*

Ads

Rabu, 24 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 027

Ang I Niocu lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.

“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.

Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa makin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri sekali, apalagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu bicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), ia merasa makin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.

Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, ia melihat betapa telinga gajah itu dapat bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar.-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tak dapat lagi menahan geli hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memuta mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.

“Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.

“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”

Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!

“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”

Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka ia berkata,
“Orang tua, orang baru tertawa kalau berhati senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentu berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”

Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkannya, akan tetapi ia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu.

“Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan kedua mata tetap berputar-putar.

Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh meniru suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,

“Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”

“Bagus, bagus, bagus!”

Hek Moko memuji dan ia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.

“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!

“Kenapa aku tertawa? Ha, ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”

Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah sebuah tengkorak yang dikebutnya hingga tengkorak itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!

“Hek Moko, kau jangan terlalu seji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!”

Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!






Ternyata dalam kata-katanya ini, Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan khikangnya yang telah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biarpun dia tidak meninggalkan gua itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.

Hek Moko diam-diam memuji dan ia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar gua terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar gua menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di dekan Hek Moko!

Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggauta mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya merupakan dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!

Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang telah sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka ini datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya.

Biarpun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sutenya. Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.

Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.

“Kalian Iblis Hitam dan Putih, setelah lebih dari lima belas tahun tak bertemu, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” kata Bu Pun Su setelah berhadapan dengan mereka.

“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kusangka kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.

“Hek Moko, jangan seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, mengapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku takkan peduli.”

Giranglah wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi ia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jerih hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lalu, ia dan sutenya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu, hingga masih merasa jerih dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.

“Ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian mendengar tadi kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”

Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu.

Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar. Hek Moko menjenguk dan ia segera meloncat sambil memperdengarkan suara ketawanya yang aneh.

Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.

“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!”

Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.

“Biarlah sekali laqi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!

Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri dekat Bu Pun Su hingga hiolouw itu tidak saja mengancam Si Kakek Jembel, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!

Hiolouw raksasa itu demikian berat hingga sebelum datang, anginnya telah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!

Akan tetapi di depan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri, maka ia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya tegang dan mata terbelalak.

Ang I Niocu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, namun ia mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka ia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apabila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai.

Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunyat takut kalau-kalau dianggap lancang tangan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar kearah dirinya!

Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.

Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya!

Heran sekali, ketika kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seakan-akan besi sembrani yang menarik hiolouw itu hingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!

Tidak hanya Cin Hai yang terpaksa meleletkan lidah tanpa merasa lagi saking kagum dan herannya, tetapi juga Ang I Niocu memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya mendemonstrasikan kekuatan lweekangnya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.

Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lalu berkata dengan suara lemah lembut,
“Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang maka harus dihormati. Apalagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua daripada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku takkan mengampunimu, Hek Moko!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.

Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka sendiri dan biarpun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan.

Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus. Untuk dapat menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekangnya dan kakek itu biarpun tenaga lweekangnya sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?

Biarpun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main.

Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!

Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru,
“Sungguh curang!”






Tidak ada komentar :