*

*

Ads

Rabu, 24 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 028

Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu ia telah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka dan mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!

Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su memiliki kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau mereka meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.

Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain serangan! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua takkan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!

Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru,
“Celaka!” dan tubuhnya merupakan bayangan merah berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!

Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu makin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu hingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.

Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi ia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biarpun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali ia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah hingga tumpah isinya atau rusak.

Kalau ia tidak menyayangi hilouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja ia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau ia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.

Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat terpandai di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri daripada serangan kedua lawannya, yakni dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi ia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.

Tiba-tiba saja ia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar dan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang beradu.

Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka. Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan baiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas daripada kedua serangan maut itu.

Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan dalam menjalankan pukulan mereka tadi.

Dengan terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua telah rebah terlentang dan hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.

Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tiada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, Bu Pun Su sambil rebah terlentang lalu mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, melebihi kecepatan luncuran hiolouw, kaki itu bergerak ke bawah dan membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya dibelokkan oleh ayunan ini.

Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit hingga luncuran kini dibelokkan ke atas kembali!






Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri dan kembali dengan kepalanya ia menerima hiolouw itu!

“Aduh, hebat! Aduh… hebat!!”

Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.

Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan setelah tiba di tempat hiolouw, ia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali ia meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya.

Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko,

“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.

Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas daripada bahaya maut dan ia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka tetapi hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Agaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw daripada tubuh dan nyawanya sendiri!

Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tidak mau tunduk dengan demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri.

Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas. Akan tetapi tasbeh di tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat terputus oleh senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apabila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, ia dapat digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!

“Eh, eh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan hendak merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu berbesar hati. Masih baik bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah, akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran hingga ia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,

“Eh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu daripada tubuhmu sendiri!”

Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh,
“Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apakah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun takkan ada gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hiolouw ini telah ribuan tahun umurnya dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian setelah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan berguna bagi manusia yang masih hidup, karena ia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”

Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana tetapi mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam ia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat ia menemukan.

Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila lalu berkata kepada Cin Hai,

“He, gundul totol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”

Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanyalah sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka ia lalu melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!

Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol mengapa sampai sekarang ia disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata! Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak.

Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu walaupun dara itu seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.

“Niocu, ada apakah?” bisiknya.

Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.

Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”

Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati daripada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.

Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali, mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan telah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!

“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…” bisik Cin Hai.

Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”

“Bu Pun Su, awas, akan kuhancurkan kepalamu!”

Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!

Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat.

Akan tetapi, bagaikan ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala hingga tasbeh itu memukul angin!

Legalah dada Ang I Niocu dan Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.

Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersamadhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu hingga tanpa memandang atau bergerak, ia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!

Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biarpun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka telah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai. Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang!

Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, sedangkan Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.

Betapapun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat daripada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke gua itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya daripada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai daripada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.






Tidak ada komentar :