*

*

Ads

Rabu, 24 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 029

Akan tetapi, setelah melihat agak lama tidak hanya lenyap perasaan kuatir mereka, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng heran dan kagum! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya!

Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis!

Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya, dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tak dapat ia elakkan, maka lalu ditangkisnya dengan tulang. Biarpun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ia tangkis dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!

Kedua iblis itu makin marah dan penasaran. Telah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan melakukan serangan bermacam-macam akan tetapi selalu sia-sia hasilnya. Benarkah mereka takkan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun! Ah, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.

Sementara itu, melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikitpun Ang I Niocu dan Cin Hai penasaran sekali. Akan tetapi, apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh daripada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couwnya, tidak berani turun tangan tanpa diperintah.

Cin Hai berpikir, kalau suhunya itu bertahan terus saja, apakah ia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga? Ia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring ia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,

“Seorang budiman hanya mencabut pedang untuk mempertahankan kehormatan dan nama. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan orang gagah, hanya dilakukan oleh anak-anak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih nama untuk Hek Pek Moko, apakah mereka ini anak-anak ataukah orang tolol??”

Karena suasana di situ sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang-kadang beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.

Tentu saja kedua iblis itu mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biarpun hanya menduga-duga saja, ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang “memperebutkan benda” adalah tepat sekali.

Cin Hai memang belum tahu mengapa tokoh-tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Gua Tengkorak, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga. Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasihat-nasihat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.

Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biarpun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah mempergunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari kedua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras daripada tadi,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”

Biarpun Cin Hai berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak putus asa, ia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.

Akan tetapi pada saat itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Kalau ia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan berbahaya sekali dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu, maka teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.

Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couwnya berbahaya sekali dan gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak makin hebat!






Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Kalau nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekad dan membelanya, biarpun untuk itu ia akan mendapat marah sekalipun!

Cin Hai lalu berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Ia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, ia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik.

“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”

Biarpun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling.

Dengan ujung pedang ia menggunakan lweekangnya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah-sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.

Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, ia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya!

Akan tetapi Cin Hai mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.

Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau ia terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini!

Dan sangat untung baginya karena tidak saja dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biarpun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!

Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”

Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil hingga ketika tiupannya ditunda, maka keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Tiba-tiba kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “bicara tentang kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga daripada muridku yang bodoh! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”

Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!

“Siancai, siancai!”

Bu Pun menyebut dan orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang sejak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka ia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya dan jatuh berserakan!

Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit. Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata hingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!

Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,

“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Gua Tengkorak dan melarikan diri.

Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua, maka ia lalu maju dan berlutut sambil menyebut,

“Suhu…”

“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”

“Sudahlah, sudahlah…” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!”

Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya.

“Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari Sucimu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau ia masih belum insyaf, bawa ia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”

Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan,
“Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”

“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”

Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,

“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu, hingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!

“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhunya!

“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai. Kemudian kakek ini berdiri lalu berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu dulu. Aku masih ragu-ragu, apakah kalau Sucimu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sianli Kiam-hwat!”

Ang I Niocu tidak berani membantah, lalu melolos pedangnya. Kemudian ia mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, setelah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,

“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”

Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,

“Coba kau serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”






Tidak ada komentar :