*

*

Ads

Sabtu, 04 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 047

Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah, kau… kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, dimana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,

“Lin Lin, aku telah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah… kau suka kepada Cin Hai? Jawablah terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai… di… jodohkan? Setujukah kau?”

Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Ia memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, maka pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.

“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Kalau kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.” Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!

“Sudahlah, tenangkan hatimu dan serahkan persoalan ini kepadaku.”

Setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.

Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menanti hasil daripada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya, maka setelah menanti sebentar, lalu ia menggunakan kepandaiannya meloncat keluar dari jendela kamarnya, lalu dengan hati-hati sekali ia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, dimana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!

Ketika Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng.

Alangkah herannya ketika ia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka diam-diam ia menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tidak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.

“Tidak, tidak, sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apa kau pikir aku harus berbesan dengan pemberontak?”

“Tapi ayahnya telah meninggal dunia dan tidak perlu kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.

“Hem, macan mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu! Nama busuk pula!”

“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”

“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimana kau bisa tahu?”

“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”

“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus meniadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”

Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.

Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, tetapi bukan karena sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ienya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali. Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!






Timbul keangkuhan dan kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja ia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu ia telah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!

Dengan hati terluka, Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,

“Hai-ko… kau hendak kemana…?”

Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi ia mempercepat larinya!

Akan tetapi, karena serangan batin yang hebat itu dan karena nafsu marahnya menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan lari terus sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil menangis dan berteriak-teriak.

“Engko Hai… tunggu… Engko Hai…”

Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali ia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Ia lalu membelok ke situ dan seorang hwesio tua menyambutnya.

“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar kepadaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang memasuki kamarku.”

Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar dimana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai lalu menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan lalu bersamadhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.

Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.

“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”

Hwesio itu dengan muka sabar berkata,
“Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi telah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”

Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar.
“Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.

“Tak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” kata hwesio tadi dengan masih sabar.

Dan kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata.
“Kalau tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”

Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.

“Engko Hai…!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.

Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik,

“Ayahnya telah menghina Ayahku!”

Maka ia lalu menjawab dari dalam,
“Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”

Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar mempunyai hubungan dengan orang di dalam kamar.

“Hai-ko, jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.

“Sudahlah Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali kalau tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingat, aku seorang keturunan pemberontak hina!”

“Engko Hai…!”

Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat ia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Ia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!

“Engko Hai…!”

Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.

Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.

“Lin-moi… Lin-moi… jangan kau bersedih, Adikku yang manis…” katanya dengan penuh kasih sayang.

Lin Lin menyusut kering air matanya dan diantara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.

“Kalau kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”

Cin Hai merasa terharu sekali.
“Adikku, percayalah, selama hayat dikandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”

Lin Lin memandang dengan sayu.
“Hai-ko… kau maafkanlah kata-kata Ayahku. Dia memang kejam… ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau… atau… aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”

Cin Hai tersenyum sedih.
“Jangan begitu, Lin Lin. Tak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”

“Habis, bagaimanakah baiknya, Haiko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”

“Puterinya begini keras hati dan kukuh, mengapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menunggu sampai ia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”

“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”

Cin Hai menghela napas.
“Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”

Lin Lin mengangkat mukanya.
“Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”

“Aku hendak pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”

“Tetapi… kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”

“Tentu saja, Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”

Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan.
“Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”

Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu betul-betul akan kembali. Akan tetapi belum lama gadis itu pergi, tiba-tiba ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.

“Celaka, Hai-ko, celaka…!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya akan tetapi lalu menangis dengan sedih.






Tidak ada komentar :