*

*

Ads

Sabtu, 04 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 046

Lin Lin cepat menerima pel itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pel itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberinya minum air.

Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan saputangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul di jidat Cin Hai hingga melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin.

Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!

Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena ia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya, akan tetapi ketika ia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Ia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barangkali melihat Ang I Niocu.

“Ia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barangkali ia cemburu, tidak melihatkah kau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?”

Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,

“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan ia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita, tidak pantaskah kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.

Biauw Suthai dan Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh ia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu ia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.

Benar seperti ucapan Biauw Suthai, setelah diberi makan obat pel itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin makin mendalam dan berakar.

Bibinya juga seringkali datang menengok, sedangkan pamannya biarpun tiap hari sedikitnya satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang tak pernah datang menengok. Hanya Kwee An yang sering datang dan tiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.

Pada hari ke tiga, Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan memikir dengan heran mengapa gadis itu pergi tanpa pamit.

Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu ia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan. Akan tetapi ia tidak kecewa. Ia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ienya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap.

Ia tidak tahu bahwa dulu ia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang ia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan disini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.

Ketika ia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya,
“Engko Hai… Engko Hai…”

Cin Hai tersenyum. Ia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Ia lalu menjawab,

“Aku berada disini!”

Lin Lin berlari-lari menghampiri dan wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.

“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan bersembunyi disini? Kukira engkau…”






“Kau kira apa?”

“Kukira engkau pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu…” Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.

“Kalau aku pergi, kenapakah?”

“Kalau engkau pergi, aku… ahh… ah, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.

Cin Hai menerima pil itu dan memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya.
“Lin Lin… kenapakah engkau… sebaik ini kepadaku…?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.

Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang mata bertemu dengan pandang mata Cin Hai, ia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.

“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai…” katanya berbisik.

Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil.
“Lin Lin, kenapakah? Kau pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”

Tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada.
“Aku… tidak berani, Hai-ko.”

“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah…”

Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang akan tetapi tidak dapat.

“Sudah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”

Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil.
“Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”

“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”

“Jawablah dulu!”

Dengan tersenyum kemalu-maluan dan matanya yang indah mengerling tajam Lin Lin mengangguk!

Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini.
“Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”

“Ah, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.

“Dan daun-daun itu, melambai-lambai kepada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak ikut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku… aku cinta kepadamu…”

“Sudahlah, kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.

“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”

“Kau… kau memang nakal!”

Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu. Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.

“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”

Cin Hai lalu meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, ia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya!

Setelah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata,
“Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu baik sekali kepadaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membelaku? Ah, aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”

Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkan akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.

Lin Lin cemberut.
“Dan kau… kau… ah, lucu sekali…”

“Aku kenapa…?” Cin Hai menuntut.

“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh… dan nakal…”

Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari. Cin Hai mengejarnya sambil berkata,

“Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”

Lin Lin berlari memutari pohon dan kembang, Cin Hai mengejar dan mereka berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia. Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang dan dengan wajah tak senang ia berkata,

“Lin Lin Ayah memanggilmu!”

Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa, akan tetapi Cin Hai berkata,

“Pergilah, Lin-moi! Ie-thio tentu ada hal penting maka ia memanggilmu.”

Lin Lin lalu masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang duduk melamun dengan penuh kebahagiaan. Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,

“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”

Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran,
“Ada apakah, Ayah?”

“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”

Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.

“Betul, akan tetapi engkau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan ia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”

“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku… aku suka bergaul dengan dia!”

Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya hingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.

“Lin Lin.” Kwee In Liang menghela napas. “Engkau harus taat kepadaku dalam hal ini. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan engkau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”

“Ayah!” Gadis itu berseru.

“Diam!! Engkau harus menurut, atau… apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)??”






Tidak ada komentar :